Kupersembahkan Blog Ini Untuk Orang Yang Pernah Mendiami Relung Terdalam di Hatiku, "BINTANG"

Pages

Everything here is about you, my lovely star,

I'm sure that one day you will read this blog and give smile for this.

My love, here I am with all my feelings,

I hope the breath of your love always blow even just through the wind

My lovely breath,

Recesses of my heart always decorate by your beautifull face

My angel,

Fly here with the whole of your long vibration

My dear,

I love you.

Selasa, 24 Juli 2012

Ucapan Selamat Ulang Tahun Ke-17

Trimakasih u/ salam pertama, yg mmbuat gembira.
Trimakasih u/ lembran-lemabaran yg slalu tersimpan.
Trimakasih u/ nyanyian yg terdengar saat terlelap di samping.
Trimakasih u/ ruas jalan yg terukir jejak kaki bersama.
Trimakasih u/ makanan dan mnuman yg tersuap melekat mnjadi darah daging.
Trimakasih u/ sentuhan lembut pelipur lara.
Trimakasih u/ rujak dan snack yg terselip di tas. Hadiah terakhir yg kn terus terkenang.
Trimakasih u/ panas hujan bersama.
U/ suara dn tulisan yg slalu menghiasi siang malam.
U/ marah, manja dan kasih.
U/ nafas, denyut nadi dn ruang wktu, yg boleh diarungi bersama.
U/ senyummu yg slalu ku lihat stiap saat hingga detik ini.
Dan smua yg aq tak mampu mnyebutnya satu per satu.
Trimakasih.
Trimakasih.
Trimakasih.
Slamat ultah ade'..
17 thn akn mmbuatmu smkin dewasa melangkah.
Slamat.
Slamat.
Slamat.

(28 Pebruari 2011)

Selasa, 15 Mei 2012

Aku Merasakan Kedamaian

Ada getar dalam setiap dawai di dalam jiwaku. Ada melodi yang mengalun merdu dalam setiap hirup nafasku. Ada bunga-bunga bersemi dalam setiap jalan yang kulewati. Ada desiran angin lembut yang menyibak rambut di keningku. Ada oase yang begitu bersih dan menyegarkan di tengah kehausanku. Ada sebuah pohon zaitun di tengah kegersangan rasa di dalam kalbu.

Engkaulah nada kasih yang selalu terpetik dalam benang halus di antara ruang-ruang hati. Engkaulah serangkaian suara penuh makna yang selalu bersaut-sautan mendamakan kepenatan di dalam setiap udara yang mengalir hingga ke seluruh syarafku. Engkaulah melati yang harum yang tertata rapi dalam diary rinduku. Engkaulah kesejukan yang selalu dinanti-nanti.

Engkaulah telaga tempatku membasuh segenggam syahdu. Engkaulah tempat berteduh saat terik menyiksa helai rambutku. Engkaulah secercah kedamaian yang selalu membungkus keresahan. Engkaulah cahaya cinta yang menembus gelapnya malam. Engkaulah daun-daun hijau yang menyenangkan mata. Engkaulah embun di saat aku melewati jalan setapak.

Jariku sempat terhenti menulis rangkaian syair untukmu. Lidahku sempat keluh tak mampu menyebut nama indahmu. Langkahku sempat gontai saat berusaha meraih tinta emas yang selalau kuperuntukkan bagimu. Suaraku sempat habis untuk selalu berteriak  menyebut kerinduan padamu. Air mataku pun telah mulai kering untuk menangisi keberadaanmu.

Tetapi tidak untuk hatiku, dia selalu membuka pintunya sekalipun kau tiada kembali. Bahkan gambaran wajahmu pun membuatnya semakin terbuka. Dia masih tertutup untuk siapa pun, sekalipun dia mengetuk dengan kepingan-kepingan mutiara. Dialah hati yang selama ini kau diami dalam relungnya. Dialah hati yang selalu melukiskan suara dan getar cintamu.

Tetapi tidak untuk jantungku, dia senantiasa berdegup untuk sebuah cintamu. Dia selalu menunggu kasihmu yang akan mengalir melalui setiap pembuluh darah, kemudian menuju ruang-ruangnya, untuk selanjutnya memberikan kekuatan pada jiwa dan ragaku, agar dia selalu mampu menyebut rindumu. Dialah jantung yang selalu memompa rasa ke seluruh sel dalam tubuhku.

Tetapi tidak untuk cintaku, dia selalu mengalun sekali pun tiada dawai. Dia selalu bernada sekali pun tiada yang memainkannya. Dia selalu terbang menuju angkasa kasih sayang sekali pun tiada bersayap. Dia selalu mengarungi lautan perih sekali pun tanpa bahtera. Dialah yang selalu bersinar sekali pun tiada lagi yang harus disinari. Dan dialah cinta yang selalu ada untukmu, kasihku.

Minggu, 01 April 2012

Maafkan Aku Bintangku

Sedikitpun aku tidak pernah berpura-pura dalam setiap gejolak kata yang mengalir di antara kedua sisi bibir tipisku ini. Bilakah aku sanggup mendusta sedang rasa cinta telah semakin menyiksa batinku. Maka akulah setitik debu yang tertiup angin. Dulu angin itu begitu lembut mengantarkanku menuju kedamaian. Namun saat ini angin itu telah lupa dan menerpaku dengan ganasnya.

Sedikitpun aku tidak pernah mengarang cerita untuk sebuah pujian. Karena cukuplah kata cinta darimu, pujaan hatiku untuk terus membuatku berjalan dalam syair-syair dan melodi kasih. Bilakah aku sanggup mengarang, sedang seluruh kata di dalam pikiranku hanya membentuk namamu. Dan dialah cinta yang tiada henti membuatku berteriak 

Setiap detik hatiku berteriak meronta. Ingin sekali rasanya bertemu denganmu. Aku tak sedang ingin membuatmu tersentuh atau apa pun saja sebutan untuk sebuah bualan belaka. Aku yakin hati lembutmu selalu merindukanku. Dan aku masih sangat yakin bahwa ladang cintamu selalu menungguku menggembalakan segenap getar-getar mesra dalam alunan setiap nada cintaku.

Bukankah aku tidak pernah berhenti menangis untukmu? Iya, aku selalu membanjiri setiap ruas jalan kehidupanku hanya dengan linangan air mata. Untuk siapakah air mata ini jika bukan untukmu? Bukankah kau dulu yang pandai menghapus air mataku dan mampu membuatku tersenyum bahagia?

Hai sahabatku, tahukah engkau sudah berapa lama aku mencintai dia? Enam tahun lamanya. Dan aku masih menjaga diriku untuknya. Sekali pun aku tahu dia sudah berkali-kali memberikan hatinya secara cuma-cuma untuk beberapa lelaki. Bukan beberapa, tapi banyak. Bukankah Tuhan Maha berkuasa untuk menyanggupkan mataku melihat setiap sudut tempat yang dilewatinya?

Aku tidak peduli bagaimana kamu berubah seperti itu. Karena cinta terus saja membutakan mata dan hatiku. Lalu membungkusnya dengan kain hitam. Yang pada kain hitam itu terlukis jelas wajahmu. Kemudian wajahmu kian hari kian terbenam dalam pada dinding-dinding hatiku.

Arin, aku tak ingin menyamarkan namamu lagi. Kata Bintang mungkin sudah bukan untukmu yang saat ini. Karena Bintang selalu bersinar untukku. Sedangkan kau saat ini justru tertutup semburan badai surya. Begitu panas menyiksa. Bintang hanya untukmu yang dulu selalu lemah lembut dan sopan perangai dan tata ucapannya.

Aku tidak tahu kekuatan apa yang mampu merubahmu menjadi sosok yang beberapa tahun ini begitu anehnya. Kadang aku berusaha menepis semua prasangka untuk terus saja mencintaimu sepenuh jiwaku. Tapi sepertinya kau sendiri yang semakin bermandikan lumpur pekat. hingga lumpur itu membuatku tak mampu lagi menyentuh. Bahkan untuk sekedar menyentuh hatiku sendiri.

Arin, maafkan aku harus menghapus semua kontakmu termasuk pertemanan pada situs jejaring sosial FB. Aku tidak sedang membencimu. Tiada kata benci dalam kisahku untukmu. Hanya cinta yang senantiasa menghias pita-pita merah penghubung hatiku padamu.

Aku tidak ingin jika rasa cintaku padamu berkurang karena aku melihat dan membaca status serta gaya bahasa smsmu yang sekarang. Karena yang kutahu bahwa Arin adalah perempuan shalihah, sopan dan lembut bicaranya, selalu menjaga diri bahkan untuk sekedar menyentuh lelaki. 

Sayangnya sosok Bintang yang begitu anggun itu tiada lagi tercermin pada jiwamu. Kau telah jauh melewati batas itu. Dan aku tidak ingin membencimu karena itu. Aku ingin selalu menjaga rasa cinta ini. Aku yakin jauh di alam sana, ruhmu senantiasa mengucap salam cinta untukku.

Maafkan aku.
Aku ingin selalu mencintaimu, Arin.

Jumat, 16 Maret 2012

Hanya Ruh Cintamu



Bintangku..

Jika badai sanggup meruntuhkan beringin yang tengah menjulang..
Maka cinta mampu menerjang dinding pembatas di hatiku..

Jika gelombang pasang sanggup menghancurkan karang..
Maka rindu telah meremukkan seluruh isi dalam dadaku..

Jika gempa telah merobohkan bangunan-bangunan kokoh..
Maka kenanganlah yang sebenarnya membuatku tersungkur..

Cintaku,,
Aku tak tahu di mana kamu sekarang,,

Sayangku,,
Aku tidak tahu bagaimana wujudmu sekarang,,

Kekasihku,,
Aku tidak pernah lagi merasakan kehangatan di dekatmu,,

Pujaan hatiku,,
Bahkan aku tak pernah tahu bagaimana suaramu bergetar merdu..

Duhai Bintangku,,
Ketahuilah bahwa aku masih merasakan wangi aroma cintamu..

Aku masih merasakan keberadaanmu,,
Masih masih dan masih..

Telah kurelakan seluruh luka ini sebagai persembahan,,
Biarlah duri-duri ini tetap menusuk..

Aku rela,,
Kau memang jauh entah di mana..

Mungkin ragamu untuk yang lain..
Namun ruh cintamu akan selalu ada di haiku..

Hanya Ruh Cintamu..

Kamis, 15 Maret 2012

Bilal Jumat Jatuh Cinta

Cerita saat kami belum bersama.

Siang itu, kira-kira pukul 11.00 siang. Seperti biasa, setiap hari Jumat seluruh siswa SMPN 5 Malang harus Shalat Jumat di Mushalla. Mushalla cukup kecil, sehingga siswi dan ibu-ibu guru bertempat di luar. Suara riuh berpindah terfokus pada Mushalla dan Aula yang berdempetan. Begitulah anak-anak SMP jika sudah bersama teman pasti ribut.

Aku adalah mu'adzin Jumat tetap di Mushalla itu. Dua kali menjadi mu'adzin terbaik se-Kota Malang tingkat SMP membuat guru-guru memberikan amanah di Mushalla tersebut. Hal itu cukup memberikan ketenaran padaku, di sisi lain aku tenar sebagai ketua gerombolan. Di sekolah kan pasti ada kelompok-kelompok (Baca : Geng).

Di luar sana cuaca tampak benar-benar terik. Terlihat dari jendela yang terbuat dari kaca bening, sebening kedua bola mata orang yang saat itu menghiasi istana cintaku. Waktu sudah menunjukkan masuknya dhuhur. Aku mengumandangkan adzan pertama, biasanya lagu muammar (Melayu) dg nada hingga jawwabul jawwab. Kemudian shalat sunnah sejenak.

Setelah itu aku menyampaikan hadist mengenai kewajiban mendengar Khotib yang sedang berkhutbah. Yang seperti ini disebut bilal. Bilal pasti menghadap ke jamaah. Sambil terus berkumandang dg suara Hijaz (Lagu bahagia), aku memandangi setiap sudut di depanku. Aku seperti melihat mutiara-mutiara yang sedang bersinar di depanku.

Ada dua hal yang biasa kucari saat memandang. Ma'lumlah, anak SMP meskipun jadi bilal ya pikirannya ke mana-mana. Yang pertama Pak Gum, seorang guru tata tertib yang paling menakutkan. Yang kedua adalah seorang bidadari yang sejak beberapa bulan lalu menjadi sorotan dalam panggung asmaraku.

Adalah Bintang yang beberapa waktu ini juga sering berada tepat di depan pintu mushalla sebelah belakang. Aku tak kesulitan mencarinya, cahaya wajahnya selalu membuatku terpana untuk mendapatkan kesegarannya.  Sekalipun ia terletak di antara kerumunan banyak siswi lain, aku juga tak kesulitan mendapatkannya. Cintanya yang begiru wangi akan menuntun seluruh inderaku untuk menemukannya.

Aku melihatnya berbisik dengan teman akrabnya. Mungkin sedang membicarakanku. Membuat jantungku berdegup semakin kencang. Sepertinya panah cinta yang telah menancap tepat di tengah hatiku, kembali terpahat untuk semakin dalam masuk. Mata panah itu semakin menyebarkan racun kerinduan ke dalam seluruh aliran darahku.

Setelah Shalat Jumat selesai, aku cepat-cepat keluar ikut merapikan karper di aula, agar bisa melihatnya dari kejauhan. Jika kebetulan saling menatap, aku hanya tersenyum sambil mengangguk tanda penghormatan untuk malaikat yang sepertinya turun dari langit. Jika ia tak sedang menatapku, aku melihatnya dari atas sampai ke bawah.

Kenapa Tuhan begitu hebatnya menciptakan makhluk cantik ini. Begitu mempesona dan menumbuhkan getar-getar kasih pada setiap kulit ariku. Aku telah semakin jatuh cinta kepadanya. Waktu itu begitu kuingat. Hingga aku pulang dan menunggunya keluar dari gerbang. Biasanya akun mengamati di Halte seberang sekolah. Jika ia sudah pulang, aku pun pulang. Sambil berdoa semoga dia menjadi milikku.

Rabu, 14 Maret 2012

Air Mata Siapa Tak Akan Terjatuh?

Pagi ini, angin begitu liarnya menerpa setiap helai daun, begitu pulalah badai rindu mengikis seluruh atmosfir yang melindungi hatiku dari kegundahan. Segenggam debu bertebaran ke seluruh arah terpisah tiada saling bertemu, begitu pula cinta yang selama ini kami genggam terburai tiada bersatu kembali barang setitik pun. Dedaunan kering saling berjatuhan seiring dengan kuatnya suara gesekan antar ranting yang terkena badai ringan ini, seperti itulah air mata bercucuran dengan kuatnya seiring dengan terjalnya jalan yang harus kulewati.

Aku tak sedang bersandiwara, aku tak sedang mengarang dan aku tak sedang membual. Aku tidak sekadar menulis, aku tidak sekadar menekan tombol-tombol yang berjajar di dalam keyboardku dan aku tak sekadar memandangi layar di depanku. Lebih dari itu, aku ingin menyalurkan seluruh buih rindu yang selalu saja membuat ngilu seluruh persendianku ke dalam sebuah barisan huruf indah. Seindah wajahnya kala mengucap cinta padaku dulu.

Tersebutlah Bintang sebagai nama indahnya yang selalu terbesit bayangnya dalam genangan mata air pada sebuah oase di dalam rinduku. Segenap kasih dan rintihan selalu bergema di dalamnya. Begitulah Bintang bak kemilau berlian yang menyilaukan setiap memata yang memandang kemudian menarik hati untuk menggenggam erat sinar cantiknya. Aduhai keluhnya lidahku untuk menyebut nama ini hingga aku hanya mampu menulisnya tanpa sanggup menggetarkan udara di sekitarku untuk membentuk aksara eloknya.

Sungguh cinta begitu tiada pandangnya menyiksa seluruh kulit, daging, tulang, syaraf dan seluruh organ di dalam tubuhku. Jika mereka sanggup berkata niscaya merekalah yang akan saling berteriak memohon untuk dikembalikan kepada masa 3 tahun yang lalu. Saat mereka teraliri nutrisi-nutrisi kasih sayang. Kemudian mereka saling bekerja untuk menciptakan surga di antara aku dan Bintang. Surga itu tiada kutemui kembali, karena mata air di dalamnya telah berhenti mengalir. Seluruh tumbuhan dan onta-onta telah mati. Hanya tinggal gurun yang begitu gersang.

Gersang sekali hingga setiap yang memandangnya akan ikut merasakan kehausan yang sangat. Begitulah air mata telah hampir kering yang biasa membasahi pipi yang dulu terbelai mesra lentik jari manisnya. Kelopak mataku mulai kering, korneanya begitu merah karena lelah, di sisi mataku tampak menghitam, dia jarang tertidur karena rindu selalu melarangnya untuk beristirahat. Suara pun telah semakin tidak jelas aksaranya ketika mengucap karena seluruh aksara telah habis untuk menyebutkan seluruh kisah di antara kai.

Siapalah tidak menetes air matanya jika mengetahui permata yang biasa disimpan kemudian dikanakan dan disentuh mesra oleh orang lain? Air mata siapa sanggup terbendung di antara cinta yang tersakiti? Suara siapa tiada berteriak sakit jika sang kekasih memberikan cintanya pada yang lain? Kekuatan siapa mampu menegakkan tulang punggung yang sakit menahan sakit yang begitu sangat? Tangan siapa mampu terus memegangi hati saat perih melanda?

Aku tiada mengungkapnya dalam lisanku, sekali lagi karena aku sudah kehilangan segala suaraku untuk sekedar mengumandangkan kidung-kidung berandakan sika. Aku hanya mampu membayangkan suara-suara indah yang pernah ada. Aku hanya mampu memandang tanpa jelas apa yang sebenarnya kupandang. Dan aku hanya mampu menulis tanpa berkomentar apa yang akan orang katakan. Di hatiku hanya da namanya yang terus saja mendorongku untuk terus menorehkan tinta di atas kanvas putih.

Selalu menahan sakit, beginilah keseharianku. Betapa cintalah yang membuatku begini, rasa sakitnya begitu pekat hingga aku tak mampu mencarikannya dengan unsur apa pun. Rasa perihnya begitu menyayat sedang aku tak menemukan satu kasa pun untuk membalutnya. Sakit yang begitu hebatnya selalu menerjang tulang dadaku untuk kemudian menusuk rongga di jantungku, membocorkan seluruh darahku, menghentika aliran darah dalam setiap pembuluh hingga membuatku kesulitan untuk bernafas. Dan aku sangat membutuhkan nafasnya untuk sekadar membuka mataku yang kian sayu. Karena aku begitu mencintai ruh cinta kekasihku.

Suatu Malam Aku Bermimpi

Lembahyung malam tampak menutupi segenap cahaya kemilauan berwarna jingga. Hangatnya senja terganti tiupan dingin sang bayu. Aku tak menyangka malam itu aku akan terlelap dalam kesendirian. Aku tak pernah mengira bahwa malam itu akan terlewati dengan genangan air mata. Dan aku tiada menduga bahwa malam itu akan terhiasi suara parau tangis kehilangan.

Mungkin kehilangan untuk selamanya. Aku harus berteriak dengan sekuat-kuatnya suaraku. Ketika sudah tak mampu lagi, hatikulah yang terus meronta hingga seolah ada batu besar menerobos ruang-ruang jantungku yang hanya terdiri dari dua bilik dan dan dua serambi, sedang batu itu sebesar gunung. Apalah daya fisikku yang kecil untuk menahan beban sebesar itu.

Iya, malam itu aku harus benar-benar sendiri. Dingin sekali, namun tak sedingin yang menusuk hingga ke tulang-tulang dadaku. Setebal apa pun selimut yang kukenakan, dia tak mampu menahan barang sedikit pun angin rindu yang kian merangsek merampas segala ketenanganku. Sekali lagi aku tak pernah menduga bahwa aku akan kehilangan kekasihku yang paling kuagungkan.

Tampaknya aku kelelahan menahan sakit yang menghujam syaraf-syaraf dalam setiap jaringan tubuhku, hingga aku terlelap dalam sebuah ombak badai di malam itu. Aduhai Tuhanku, aku melihat kekasihku berbaju putih. Dia tersenyum manis, pipinya terangkat dan matanya menyipit. Cantik sekai, namun tampak pucat dan bibirnya kering. Melambaikan tangan dengan berkata pelan.

"Walaupun raga kita jauh, aku tetap di hatimu. Yang pergi darimu bukanlah aku. Karena aku telah benar-benar mengabdikan cintaku padamu. Aku masih kekasihmu, jika kau merindukanku, maafkan aku hanya bisa memberi warna dalam cintamu. Pandangilah aku dengan cintamu dan jangan pernah membenciku. Aku sedang terjebak dalam emosiku. Sungguh aku sangat mencintaimu. Tetapi nafsuku menuntut untuk mencintai yang lain. Sayangku, itu bukan aku. Aku selalu di hatimu. Sebutlah namaku jika kau sakit, jika kau haus, jika kau lapar. Aku akan merawatmu, menyuapimu dan menemanimu dengan segenap bayangku. Selamat tinggal kasihku, semoga ruh cintaku akan menemuimu kelak di sana. Karena nafsu telah menguasai seluruh ragaku. Biarlah tubuhku bersama yang lain asal cinta selalu utuh untukmu. Selamat tinggal cinta pertamaku, aku benar-benar mencintaimu.."

Begitulah dia berbicara seraya terisak jua. Aku terbangun oleh suara Qiro'ah Syeikh Muammar yang kian menambah pedih hatiku dengan lagu shoba yang masih terdengar sampai aku benar-benar bangun dan mengusap air mataku yang tiada keringnya. Mungkin mimpi ini benar, karena hingga saat ini aku terus saja merasakan getar hangat cintanya. Masih saja mencium wangi keringatnya, masih saja mendengar suara indahnya.

Jika aku lapar, aku menyebut namanya. Jika aku haus, aku menyebut namanya. Jika aku sedih aku mengadu padanya. Jika aku sakit aku selalu mengingatnya. Sekalipun dia tiada. Biarlah halus ruh cintanya yang selalu menyertai seluruh kesadaranku. Biarlah biar dia tiada lagi, asal cinta selalu mewarnai hati ini. Aku tiada pernah membencinya. Biarlah bahagia dia bersamanya. Dan aku bahagia bersama ruh cinta kekasihku.

Senin, 12 Maret 2012

Hangatnya Sore di Terusan Kesatrian

Hari yang cukup cerah dengan angin yang bertiup menerbangkan debu-debu yang menutupi bayangan kami. Semakin beterbangan ke segala arah, demikianlah debu tiada arah. Sedangkan kami memiliki arah, dialah kebahagiaan yang menjadi tujuan kami. Sebuah cinta tiada lengkap tanpa kebersamaan sejati. Begitulah asa dalam bumbungan gelora cinta kami.

Dialah kekasihku yang indah seri-seri di pipinya, yang sore itu mampu membuatku terus tertawa bahagia di antara segenap derita. Maafkan aku Bintang, kembali kusebut namamu. Bukan sekedar menyebut, karena cintalah yang sebenarnya memberikan kekuatan kepada pita suaraku untuk terus menggetarkan udara dengan aksen huruf-huruf indah yang membentuk namamu. 

Baru saja dari sebuah warung di daerah Hamid Rusdi, cukup menarik dengan segenap ornamen tradisional. Seperti biasa, setiap bertemu selalu menyempatkan untuk singgah pada suatu tempat untuk sekedar menyirami haus dahaga yang mencipta kekeringan pada hamparan rindu. Kembalilah Bintang yang selalu menemaniku saat itu. Sebuah simbol cinta tiada tara.

Dialah pujaan hatiku, yang selalu kusuarakan dalam setiap irama detak jantung dan helaan nafasku. Bahkan dialah nafasku hingga ia harus benar-benar lenyap dari dimensi ruang-ruang cinta dalam hatiku. Seorang gadis belia yang telah membius seluruh kesadaranku untuk kemudian menjadi lupa segalanya dan menghipnotis akal pikiranku untuk terus menyebut namanya.

Dengan seragam yang putih, seputih rasa yang menyatukan kedua hati kami dengan segala warnanya, Dia menggenggam erat cinta ini dalam sebuah kesejukan rasa. Oh duhai siapa yang tak bahagia memiliki kekasih seindah dia. Akulah pemuda dengan seluruh keberuntungan, mungkin dewi keberuntungan sedang bersamaki.

Sore itu benar-benar sebuah kehangatan yang cukup untuk seekor lebah yang merindukan sari-sari madu pada bunga melati nan putih berseri. Akulah sang lelaki yang saat itu begitu menikmati belaian hangat sinar mentari. Demikian pulalah kehangatan di dekatku, seorang gadis yang indah kedua bola matanya terus saja membunyikan lonceng-lonceng kebahagiaan.

Aku tak sedang bersedih mengenangnya. Hari ini aku bahagia bisa mengenang dan mencintainya tanpa setetes air mata pun. Tanpa seberkas getaran suara jeritan pun. Aku semakin mencintainya yang entah di mana sekarang dia. Aku merasa bahwa ia tiada lagi di dunia ini.

Terusan Kesatrian, sebuah jalan di dekat Bunul, saksi terdiam atas cinta kami. Sebuah bentangan jalan berderbu dengan perumahan hijau di sekelilingnya. Hijau menyegarkan bagai cinta yang menyejukkan hati kami saat itu. Duhai jalan yang tiada mendua, saksikanlah seluruh cinta ini telah kutorehkan pada sebuah kertas putih hingga ia usang.

Dan aku pun semakin mencintainya..

Senin, 27 Februari 2012

Dua Puluh Delapan Pebruari

Kali ini lidahku keluh untuk terus menyanyikan kidung-kidung cinta. Tapi hatiku tak pernah lelah untuk menyangga beban rindu seberat ini. Tanganku telah kaku untuk mencari genggam kasih, namun ia tak pernah letih untuk terus menuliskan bait-bait kerinduan. Terus saja mengalir dan mengalir seluruh arti cinta yang tersimpan dalam ruangan yang kini gelap gulita. Ruang itu sedang terkunci rapat. Tiada yang bisa membukanya, karena satu-satunya kunci telah dibawa oleh seorang gadis.

Aku tak pernah tahu di mana dan bagaimana gadis itu sekarang. Yang aku tahu cintanya selalu terlukis indah di langit-langit rasa cintaku. Seperti pelangi yang indah, bagaikan gugusan bintang yang tersusun rapi, bagaikan aliran sebuah telaga yang bergemericik merdu. Begitulah cinta, ia benar-benar sudah menyelubungi seluruh dinding luar pembungkus perasaanku. Kemudian darinya meresap rasa rindu hingga ke dalam ruang cintaku, untuk kemudian membuatku kedinginan tanpanya.

Seorang gadis, Bintang namanya. Bergetar seluruh syaraf-syaraf dalam tubuhku ketika mengingat dan menyebutnya. Bahkan hingga rasa nyeri yang sangat mengenai seluruh persendian tulangku kala merindukan tiupan-tiupan halus dari suara cintanya. Kadang aku sampai bingung bagaimana menceritakan rasanya. Ini hanya sedikit gambaran, betapa badai kerinduan meluluh lantahkan seluruh pondasi dan pilar-pilar kokoh yang menegakkanku sehingga tetap mampu melihat ke depan.

Sayangnya aku harus terlempar jatuh ke belakang dan mataku tertuju pada sebuah klise hitam putih bergambar tatapan indah matanya yang berbinar-binar. Senyum dari bibir tipisnya yang begitu mempesona. Aku dibuat tak sadarkan diri oleh seluruh harapan-harapan yang lalu. Aku tahu jika aku harus sadar, namun aku tak pernah kuasa kembali bangkit. Rasanya aku memang harus tertidur bahkan mati sampai ia datang untuk menaruh mutiara di atas dadaku untuk kemudian membuatku sadar menangis terharu karena kedatangannya.

Saat ini ada sebuah bayangan yang mengendap-ngendap di balik jendela hatiku. Siapalah dia jika bukan rasa rindu yang selalu kusebut dalam setiap tulisanku. Kerinduan inilah yang selalu membuatku terus menggali khasanah cinta. Kubiarkan saja walau kadang menyesakkan paru-paru dan lekukan tenggorokanku, hingga aku kesulitan bernafas. Tiada gunalah oksigen dari seorang penyembuh, karena dialah cintaku yang menjadi nafas sejatiku.

Baik, saatnya aku berkata sesuatu. Di saat yang lalu aku telah menorehkan sebuah tinta menjadi himpunan kata mengenai tempat-tempat kenangan yang terus saja menggerus seluruh selimut dalam dadaku. Bahkan kemeja bergarisku kini telah terkikis, sehingga kulit memar membiru terlihat jelas, mungkin karena luka yang sangat dalam menghujam tulang dada dan rusukku. Masih ingatkah sahabat tulisanku yang lalu, Kenangan Biru Putih ??

Iya, di sana ada dua angka yang terlewatkan. Bukan terlewatkan, memang sengaja kusembunyikan. Karena angka ini kusiapkan untuk tulisanku kali ini. Angka dua dan delapan, gabungan kedua angka ini --28--, merupakan tanggal kelahiran kekasih tiada tara, gadis yang tajam pelangi dalam bola matanya, yang nafasnya tiada terlupa, yang suaranya masih saja terdengar mesra di sudut sana. Dua puluh delapan Pebruari, saat ini dia berulang tahun.

Iya, kekasih hatiku lahir pada 28 Pebruari 1994, bertepatan dengan  dengan 17 Ramadhan 1414 H atau 1926 Tahun Jawa. Mungkin hanya aku yang tahu kelahirannya sampai sedetail ini. Bertepatan dengan peringatan Nuzulul Qur'an, turunnya sebuah mu'jizat. Dia pun bagai sekumpulan mutiara hikmah yang diturunkan bagai hujan saat musim kering melanda hamparan kebun-kebun kasih sayangku.

Jika demikian, saat ini dia telah berusia 18 tahun. Aku tidak pernah percaya bahwa sudah sekitar 4 tahun aku terus saja mengalirkan rasa citnaku untuk sebuah bayangannya. Karena saat ini memang hanya tinggal bayangnya. Aku tak mampu menyentuhnya dengan jemariku, maka biarlah hatiku meresapi setiap kesatuan titik yang membentuk lukisan wajah manisnya.

Setiap tahunnya aku mengucapkan selamat ulang tahun 2 kali, pertama ulang tahun berdasarkan masehi, kedua adalah berdasar tahun hijriyah. Siapakah yang telah mampu menandingi betapa sedetail itu aku sedang memperhatikannya? Aku sangat yakin dengan segala rasa yang terhimpun, jika hanya aku yang sanggup. Begitulah cinta menguatkan seluruh syaraf-syaraf  kesan kasih dalam segenap degup jantung dan aliran darahku.

Semenjak saat aku harus berpisah dengannya, setiap tanggal 28 Pebruari, kuletakkan sebuah foto pemberiannya dulu di depanku. Ini foro pertama yang ia berikan kepadaku. Sebenarnya yang kedua, hanya saja yang pertama belum sempat aku melihatnya, tapi jatuh dan hilang. Dia memberiku dengan menyelipakannya pada sebuah buku berwarna hijau, jika tidak salah buku fisika.

Mungkin foto itu terjatuh di dekat air mancur di depan kelasnya saat aku berlari bahagia karena bisa memiliki lukisan wajah cantik dengan segenap rona kasih sayangnya. Akhirnya dia memberikan sebuah foto lagi yang sampai kini kusimpan. Kuhias dengan bingkai kertas bergaris warna putih. Garisnya begitu lurus seperti lurusnya niatku untuk selalu menunggunya. Warnanya putih, seputih kain-kain yang membungkus cintaku khusus untuknya.

Dalam foto itu dia melirik ke kanan, kuletakkan di posisi seolah-olah dia sedang melirikku sambil tersenyum. Kuletakkan sedikit lebih tinggi dari tempatku bersimpuh. Dia sedang memakai jilbab berwarna biru tua dengan baju putih. Di sebelah krinya ada bantal berwarna merah muda dengans sedikit hiasan merah putih dan kuning. Sepertinya bantal ini pernah dipasangkan pada kepalaku saat aku tertidur di ruang tamunya.

Aku berdiri dengan ditopang kedua lututku, membawakan setangkai mawar merah di depan foto kekasihku itu. Sebelum mampu berucap kata, air mataku telah terlebih berjatuhan membasahi lantai. Kadang harus menunggu lama sekali untuk berhentinya tangisku yang memang tidak akan berhenti, sampai aku mampu berkata.

"Kekasihku, aku sadar bahwa aku tak kan pernah lagi kau tatap mesra seperti ini. Aku sadar bahwa jemari ini semakin jauh dan tak mungkin lagi mendapat hangat genggam halus sela jari dan telapak tanganmu. Aku sadar bahwa kian waktu kau semakin jauh dan bahkan setitik pun aku tak mampu lagi menjumpaimu. Aku sadar bahwa tiada lagi rasa itu skedar untuk membasahi kerongkonganku yang benar-benar haus ketika harus berdiri menantimu di tengah padang pasir yang sangat gersang, sementara hatiku terpenjara pada lautan salju, begitu dingin menusuk."

Terdiam sejenak, aku bagai terhipnotis. Aku merasakan harum nafasnya. Seperti terbawa dalam alam lain, aku terasa menjumpainya dalam kegelapan. Aku melanjutkan kembali untuk terus berkata pada fotonya, "Namun aku sudah cukup meresapi segenap kehangatan kasih sayangmu dengan melihatmu dalam gambar ini, aku merasa cintamu telah hidup kembali, aku bagaikan tertarik ke dalam dimensi 3 tahun yang lalu, saat aku memakai baju putih, tertidur di depanmu kemudian kau tertawa melihatku. Aku merasakan kedekatanmu duhai kasihku. Sangat dekat sekali. Duhai bidadari yang selalu memancarkan bayangan cinta, saat ini aku tak mampu membendung seluruh hempasan mata air penuh jeritan dari kelopak mataku. Tiadalah kau dengar aku menjerit sementara kau sedang tertawa dengannya. Aku tak peduli, karena aku telah menemukan arti cinta itu sendiri."

"Duhai sang perebut cinta dalam hatiku, yang engkau tiada kembali lagi, aku selalu melakukan ini setiap hari kelahiranmu, kembali aku tak peduli ada atau pun tidaknya dirimu, karena kerinduan ini selalu terhiasi kupu-kupu yang biasa beterbangan di antara kita berdua. Selamat ulang tahun duhai kekasihku. Semoga selamat dan sejahtera seluruh jiwa dan ragamu. Selamat ulang tahun kasih. Maaf hari ini aku tak mengucapkannya langsung padamu, karena aku masih ingat kata-kata menyakitkan terakhirmu -Jangan tunggu, ganggu, atau apa pun padaku- Maka biarlah aku mengucapnya pada Bintangku yang dulu, yang sekarang ada di depanku ini."

Minggu, 19 Februari 2012

Kabut di Kala Terang

Rasanya tidak ada satu tempat pun, tidak ada satu detik pun, tidak ada satu kejadian pun, tidak ada satu centi jalan pun, tidak ada satu lagu pun, yang tidak mengingatkanku pada satu masa. Yang masa itu terhiaskan senyuman-senyuman indah, terhiaskan kebahagiaan dan ketenteraman. Yang waktu itu duniaku begitu berwarna oleh biasan cahaya-cahaya pelangi. Pelangi itu warnanya begitu jelas, merah kuning hijau biru jingga ungu dan warna-warna turunannya. Begitu pulalah jelasnya warna-warni cinta yang berputar-putar mengelilinga samudera kerinduanku untuk kehadiran sebuah puteri yang baik perangainya.

Beginilah hari-hariku terus dibayangi oleh klise kenangan yang begitu memukau. Hari penuh angan-angan kosong dan harapan tak jelas ujungnya. Berharap bidadari itu kembali untuk sekedar mengucap salam dengan harum lembut seluruh cintanya. Setiap mengingatnya, aku memang terdiam saja. Seolah tiada apa-apa. Seolah aku tak pernah mengalami sederet kenangan apa pun. Di balik itu semua, jika kau melihat bahwa aku sedang benar-benar menjerit. menjerit dengan seluruh daya suaraku. Bahkan mungkin sampai tiada tersisa suaraku. Aku sedang loncat ke atas dengan tangan mengepal menahan duka yang sangat. Gerakanku tak jelas arah, saat ini tubuhku bagaikan dililit oleh rantai besar, kemudian aku diikatkan pada sebuah tiang besi. Tahukah kalian? pada tiang besi itu dialirkan arus listrik dengan kekuatan megawatt.

Maka kalian akan mendapatiku berteriak memohon untuk dilepaskan dari belenggu ini. Tetapi teriakan parauku tiadalah berguna. Karena pengikatnya telah pergi entah ke mana. Mungkin sedang berbahagia tertawa di sana. Saat ini seluruh dayaku telah terkuras habis. Bahkan untuk sekedar meneteskan air mata pun aku telah lelah tak kuasa. Untuk sekedar mengucap namanya kadang lidahku keluh. Sekalipun dalam hatiku terus bergejolak nama indahnya, Bintang.  Ini bukan berarti aku lelah untuk terus saja mencintainya. Karena bagiku dia selalu ada dalam istana cintaku. Hanya saja aku tak mampu melihat dan menggenggamnya.

Tadi pagi, kira-kira pukul 09.00 aku mencari sarapan di tempat favorit. Ketupat sayur, letaknya di depan cucian mobil Witjaksono. Di sebelah utara jalan, terlihat usang, namun tidak begitu dengan cintaku yang terus saja bersinar kemilauan seperti pantulan mentari dari ribuan tetes embun. Bagaikan berlian yang terhimpun, cinta begitu menyegarkan mata dan hati. Di depan aku melihat kedai bubur Kayungyun, teringat aku dulu pernah membawakan bubur ini saat kekasih hatiku sedang sakit. Rupanya dia senang sekali dengan bubur ini. Aku sempat menyuapinya untuk terakhir kalinya dengan bubur ini di rumah lamanya.

Duhai Rabbku Sang Pencipta Cinta yang Maha Agung, bilakah aku dibiarkan tenggelam pada kabut di kala terang ini. Bilakah aku dibiarkan untuk menguras air mata yang sudah tak mampu menetes. Bilakah aku harus berteriak sementara seluruh suaraku telah habis. Bilakah aku tetap gontai dan terjatuh sementara aku kesulitan berdiri. Duhai Penciptaku dan Pencipta ruh kekasihku, jika ini memang harus selalu kualami dalam setiap nafas yang terhirup dan terhembus, dalam setiap darah yang mengalir, dalam setiap degub irama jantung serta langkah layuku, maka berilah aku kekuatan. Kemudian abadikan kisah ini menjadi sebuah hikayat yang teramat agung. Biarkan kekasihku berada dalam bahagia, jagalah dia, jangan biarkan air matanya menetes, jangan biarkan mimik wajahnya cemberut, sekalipun dia terlihat cantik saat cemberut. Karena dia begitu berharga, Tuhanku.

Kamis, 16 Februari 2012

Sepanjang Jalan

Festival Malang Tempoe Doeloe
Cerita dua tahun silam,

Langit pagi ini nampak cerah. Secerah hatiku yang sedang terhiasi sinar mentari dari kejauhan. Dialah cintaku yang sejak semalam menaburkan bunga-bunga kegembiraan di seluruh hamparan auraku. Sejak tadi malam aku tak bisa tidur. Bukan karena resah, namun karena sebuah harapan. Aku berharap waktu berputar lebih cepat dari biasanya. Setiap saat kupandangi jam dinding warna coklat di sebelah barat dinding kamar tidurku. Dentuman jarumnya seolah mengiringi kerasnya degub jantungku yang sedang memompa darah begitu kuatnya.

Sejak beberapa waktu yang lalu kami berjanji akan bertemu untuk saling melepas rindu mengucap kasih. Sepertinya sudah lumayan lama kami belum bertemu. Rasa rindu kian menyelimuti hati ini dengan awan dingin yang begitu tebal. Akhirnya, hari ini tiba. Kami akan bertemu kira-kira jam 9 pagi. Sebenarnya kami ingin lebih pagi, namun masing-masing memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Setelah melihat jam yang jarumnya sudah hampir menuju setengah 9, saya segera mandi dan ganti baju. Bercermin berulang-ulang untuk meyakinkan bahwa saya pantas keluar dengan dia.

Seperti biasa, saya naik angkutan ABG, turun di dekat gerbang RS Lavalette. Rupanya sudah tampak sang pelita hatiku menunggu dengan baju merahnya. Begitu menyala seperti cintanya yang sedang merekah. Tatap matanya menenggelamkanku dalam buaian kasih sayangnya. Pesona senyumnya membuatku lepa segalanya. Hanya ada aku, dia dan cinta. "Sudah lama sayangku?" Kataku sambil tersenyum antara bahagia dan sok ganteng. Hehehe. Maklumlah, di depan pujaan hati, siapa yang tak akan mempersembahkan segalanya?

"Ndak kok mas.." Katanya sambil tersenyum. Yang tanya kekasihnya, pasti jawabnya gitu. Hahahaha. Ya begitulah cinta yang tak ingin membuat kekasih tersinggung. Bibirnya hari ini terlihat sedikit merah, entah karena memakai lipstik ataukah bagaimana, yang jelas hari ini dia begitu cantik. "Kita ke mana sayang?" Tanyaku dengan nada sedikit berwibawa. "Ke TS-Net dulu aja mas.." dia menjawab dengan tutur lembutnya. Ah semakin menggelorakan cintaku saja.

Di warnet sudah lumayan lama, kemudian kami berjalan kembali ke arah selatan. Karena lapar, makan dulu di sebuah warung soto. Sepertinya warung ini baru buka. Setelah lumayan kenyang, kami meneruskan perjalanan. Bingung harus ke mana. Akhirnya kami putuskan untuk ke Festival Malang Tempoe Doeloe. Ini kali kedua kami ke sini. Dulu pertama kali kami ke sini, saya memakai seragam biru putih, sedangkan dia memakai baju berwarna kuning. Di tengah perjalanan dia membeli sesuatu. Sepertinya hampir sama dengan bros yang pernah kubelikan di pameran di lapangan rampal waktu awal-awal pendekatan dulu.

Dia terlihat lelah, kami segera pulang menggunakan angkutan MM. Dia mengeluh sakit pada perutnya, untungnya saya lumayan paham titik syaraf. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi rasa sakitnya dengan menotok titik di telapak tangannya. Tangannya begitu lembut dan hangat, karena ini darurat, saya harus menyentuhnya. Syukur, akhirnya berkurang juga sakitnya. Sepanjang jalanan ini terasa indah kala di sampingnya. Kami duduk di depan samping sopir. Langit sore yang sedikit mendung mendadak terasa cerah. Karena hatiku benar-benar terbuka dari kegelapan. Hari ini akan menjadi saksi kebersamaan di antara kami. Dan menjadi bukti, bahwa aku sangat mencintainya.

Rabu, 15 Februari 2012

Sepiring Berdua

Tiada yang melebihi indahnya saat-saat kebersamaan dalam sebuah cinta. Setidaknya kalimat itulah yang selalu bergema di dalam sudut hati saya yang terdalam. Saya merasakan getaran yang begitu luar biasa. Getaran itu mampu meruntuhkan semua benteng ketegaran saya. Getaran yang mampu menjatuhkan seluruh air mata yang sebenarnya telah kering sejak kami bersama. Kemudian air mata itu setetes demi setetes menggenangi luka yang kering. Lalu asamnya menusuk setiap jaringan yang teriris, betapa sakit yang kini sedang saya rasa. Bukan hanya sakit, namun perih bercampur duka. Entah apakah ini sebagai bagian dari sebuah perjalanan cinta.

Mencintainya hanya butuh waktu sejenak. Cukuplah indah senyumnya, bulat pipinya saat tersenyum, --dagunya terangkat ketika tersenyum, sehingga pipinya nampak lebih bulat--, lembut tatap matanya, harum keringatnya, mempesona setiap langkahnya, yang mampu memenjarakan seluruh rasa yang selama ini saya biarkan terlepas tanpa arah. Begitu kuat sihir cintanya, yang membuat seluruh mata saya tertutup dari seluruh bidadari yang tersimpan di atas langit. Hanya ada lukisan senyumnya yang menghiasi setiap sudut dinding hati saya. 

Kala itu lukisan-lukisan wajahnya dalam hati saya membisikkan kata rindu. Lalu meniupkan aingin sepoi ke dalam jantung saya. Dinginnya suhu kerinduan semakin menggetarkan sekujur tubuh saya hingga ke ujung rambut. Saya ingin menemuinya, sangat ingin. Suasana belajar di kelas yang menyenangkan tiba-tiba gerah rasanya. Karena AC yang terpasang pada ujung barat dinding kelas saya tidak mampu mendinginkan kobaran cinta yang saat ini kian membumbung. Di sisi lain, saya sangat menggigil membutuhkan belaian hangatnya cinta sang kekasih.

Jika kalian tanyakan bagaimana rasanya, mungkin hampir sama seperti saat kalian mengalami demam tinggi. Namun itu hanya sepersepuluh dari rasa rindu yang saat itu bertaburan mengitari seluruh aura saya. Betapa dinginnya, namun suhu tubuh kalian sangat panas. Lalu apalah daya melawan sebuah demam tanpa adanya penurun panas? Maka dialah sang penurun panas, penawar kerinduan, Bintang nama indahnya. Iya, Bintang. Begitulah saya selalu menyebutnya dalam setiap pesan dan surat.

Kami memutuskan untuk saling bertemu. Saya telat, rupanya dia sudah menunggu dengan seragam barunya. Putih-putih, memakai tas sebelah, sambil memegang sebuah jaket. "Sayang, maaf telat.." Kata saya dengan wajah pucat karena takut dia marah. "Iya mas ndak apa-apa kok.." Jawabnya ringan sambil tersenyum. Kami berjalan sedikit jauh, sekitar 200 meter dari tempatnya menunggu. Dia selalu menunggu di pojok sebuah toko di dekat belokan Jalan Kendalsari.

Sampailah kami pada sebuah warung. Lesehan 74 namanya, ornamen dan karpetnya berwarna merah. Mungkin melambangkan bergejolaknya cinta yang menyelimuti kami berdua. Seperti hari-hari sebelumnya, jika kami sedang tidak banyak uang, kami pesan satu makanan dan dua minuman. Hari itu pun demikian, sesekali saling menyuapi. Kadang makanan tercecer, jatuh, tersangkut di bawah bibir. Saling membersihkan dengan tangan kami. Diiringi musik-musik romantis yang kadang diputar di warung tersebut.

"Mas, cemot.." Katanya dengan nada lucu sembari membersihkan dengan selembar tissue. Ada cinta terpancar di kornea matanya yang kecoklatan. Ada damai dalam hatinya saat di dekat saya. Ada kasih sayang yang begitu besar dalam setiap sentuhannya. Ada segalanya yang sebelumnya tidak pernah saya temukan. Iya, benar-benar segalanya. Dialah cinta yang begitu agung, dialah rasa yang begitu menentramkan, dialah Bintang bak lentera dalam kegelapan.

Setelah makanan habis, biasanya kami mengulu-ngulur waktu pulang agar semakin lama bertemu. Saling mengucap rindu, padahal masih dekat. Saling mengucap cinta tanpa bosannya. Saling mengucap janji tanpa letih. Kami benar-benar sedang mabuk terkena anggur cinta yang sedang kami hirup aromanya bersama. Kami lupa bahwa suatu saat mungkin saja cawan tempat anggur itu mungkin saja akan terjatuh kemudian terpecah belah menjadi sebuah kepingan-kepingan kecil yang tajam. Yang karenanya mampu menusuk, menggores bahkan mengiris genggaman erat cinta kami, lalu mencecerkan darah. Yang darah itu dengan mudahnya terhapus oleh hujan. Yang hujan itu dengan cepatnya berganti dengan kemarau. Yang dengan kemarau itu kami menjadi kehausan. Yang dengan haus itu kami menyesal. Yang dengan penyesalan itu kami kembali terluka.

Duhai Rabbku sang pemilik segenap cinta yang tertiup dalam ruhku dan ruhnya, saksikanlah bahwa bukan hanya saat itu saja cinta saya menggelora dengan kuatnya, bahwa bukan hanya karena wujudnya saya mencinta, bahwa sekalipun kami dipisahkan antar galaksi ataukah yang ratusan juta kali lipat lebih jauh, saya akan terus mengalunkan kidung-kidung cinta. Sekalipun saya tahu dia mungkin tak akan pernah mendengarnya. Saya tidak peduli, yang saya pedulikan hanya satu, "Saya mencintainya.."

Senin, 30 Januari 2012

Merindukanmu



Aku
Merindukanmu
Aku merindukanmu
Benar sangat merindukanmu
Setiap hari semakin merindukanmu 
Semakin hari semakin kumerindukanmu
Kian jauh jarak kita kian kumerindukanmu
Kekasih hatiku, sangat kumerindukanmu
Sungguh sangat merindukanmu
Jujur ku sangat merindukanmu
Karena aku merindukanmu
 
Aku merindukanmu
Merindukanmu 
Sayang 
Ku
 

Minggu, 29 Januari 2012

Sajak Semalam

Semalam pujaan hatiku mengirimkan sebuah pesan ucapan terimakasih. Entah untuk apa. Aku selalu berusaha untuk tak berpuisi dan bersajak di depannya. Tapi memang setiap untaian kata yang mengalir dari tangan dan lisanku selalu saja berbentuk sya'ir. Aku terlanjur mengalunkannya untuk kekasih hatiku.

Bidadariku, banyak yang ingin kubicarakan sebenarnya.
Tapi lidahku sudah keluh.
Tanganku sudah lelah.
Hatiku sudah mati.
Otakku sudah bebasl.
Kakiku sudah pincang.
Aku tidak pernah tahu.
Sebenarnya sakit apa aku ini.
Yang aku tahu hanya engkau penawarnya.

Aku tak berharap sakit ini harus ditawarkan.
Biarlah demam menghapus dosa.
Aku tak pernah berharap semua luka terbalut.
Karena kasa seluas bentangan langit dan bumi tak akan pernah cukup.
Aku tidak terlalu berharap kamu kembali.
Bukankah cintamu setiap detik selalu menaungi panasku?
Bukan dihargai dan dianggap harapanku.
Karena kamulah yang begitu berharga di hatiku.
Aku tidak berharap engkau kembali mencintaiku.
Karena sayangmu sudah jauh melekat sejak sebelum kita saling mengenal.
Aku bisa mencintaimu dengan segala kebodohan dan kegilaanku.
Yang orang lain tiada mampu.
Aku bisa melayang.
Hanya dengan mengingat pita merah muda yang menghias ujung jilbabmu.
Aku bisa tertawa dan menangis.
Hanya dengan menatap langit, kemudian kulukis wajahmu saat aku sendiri.

Sebungkus Coklat di Sudut Lapangan Danau Bratan Timur

Detik saat kutulis ceritaku untuk yang kesekian kalinya ini, gerak jemari tanganku seolah saling berirama diringi tetesan-tetesan air mata yang kian lama kian derasnya. Semakin kutahan untuk tak terisak, semakin pula hujan turun dengan kuatnya. Aku tidak pernah tahu di mana ada selembar tissue yang sanggup menyerap habis seluruh bulir-bulir air mata ini. Dan aku tidak pernah tahu kenapa ini semua harus selalu terjadi. Aku adalah lelaki. Iya, aku adalah lelaki. Tetapi kenapa hatiku begitu rapuh?

"Tidak, kamu tidak rapuh nak !!!, itulah cinta sejati yang telah menghiasi seluruh syaraf dan aliran darahmu, Tuhan membuatmu tidak pernah merasakan kasih sayang ibu, kemudian Dia mengirim bidadari cantik dan kembali menariknya dalam waktu yang cukup untuk meluluhkan keras hatimu" Kata seorang guru hakiki. Aku pun lemas, sekalipun lidahku telah diam, namun hatiku terus saja bergejolak. Semakin dan semakin saja.

Kawanku maaf, saat ini aku benar-benar tak mampu menahan air mataku lagi. Pujaan hatiku baru saja mengirim pesan singkat. "Terimakasih untuk semuanya", itu isi smsnya. Aku tak mampu berkata-kata, senang memang dia masih berusaha menjalin silaturahim ini. Tetapi setiap kata yang datang darinya seolah menjadi penderas hujan air mata. Kadang aku sampai tak sadarkan diri untuk  untuk hal ini. Begitu dalam luka ini untuk dibalut hanya dengan kasa-kasa tipis. Begitu banyak cabikan-cabikan yang melukiskan luka di dalam sanubari lemah ini.

Baiklah, aku ingin memulai bercerita kembali. Biarlah aku tak peduli dengan sesenggukan ini. Suatu hari, waktu itu pukul 14.00 siang. Mungkin hari Kamis, Dia memakai seragam abu-abu putih, begitu cantiknya, mungkin jika ada mesin waktu yang bisa mengembalikanku ke masa itu, aku tidak akan pernah bersedia kembali ke masa saat ini sekalipun secara finansial dan materi sangat berlebih. Kemeja putihnya sedikit kusam, namun wajahnya begitu memancarkan cahaya. Warna dasinya sudah sedikit memudar, tapi tatapan indah kedua bola matanya masih bersinar tajam. Keringatnya menyembul di sudut-sudut wajahnya dan terlihat membasahi lipatan-lipatan kemejanya, namun mata air cinta telah membasahi hatinya hingga selalu menyegarkan tenggorokanku yang sangat haus kasih sayang.

Kecantikannya telah menghipnotis seluruh kesadaranku, hingga hanya wajahnya yang ada di hamparan luas rumput-rumput yang tumbuh bagai permadani hijau. Siang itu, seperti hari-hari sebelumnya, dia berlatih mengendarai motor bersamaku. Berputar-putar lapangan, aku di belakangnya mengontrol. Berputar dan terus berputar, seperti suara-suara cinta yang bergulung-gulung membuat tubuh berguncang hebat. Waktu sudah sedikit sore, semayup adzan pak tua terdengar dari ujung barat daya. Mungkin dari Masjid Manarul Islam, atau lainnya yang aku lupa namanya.


Matahari berubah panasnya menjadi kehangatan, sinarnya berubah menjadi kelembutan, angin bertiup menggugurkan daun-daun kering. Bak musim semi yang semakin mewarnai berseminya cinta di antara kami berdua. Kami menepi mendekati sebuah pohon di pojok barat. Istirahat sejenak untuk saling memandang. Kami saling meyakinkan bahwa di mata kami hanya ada cinta yang mengalir di antara aku dan dia. Kemudian, sesuai janjiku tadi, "Kalau sayang bisa muter-muter lancar, nanti kubelikan coklat !!!"


Hari ini masih belum lancar. Tetapi aku ingin bunga-bunga kebahagiaan bermekaran dalam dinding-dinding hati terdalamnya. Kemudian semerbak mewangi dan membuatku melayang bersama cintanya. Kami ke sebuah toko di seberang barat lapangan. Aku sudah lupa nama tokonya, yang jelas di toko itu terdapat papan bertuliskan "Pasifik Laundry". Kubelikan sebungkus coklat dan segelas air mineral. Dia senang sekali sambil berkata "Horeeeee...". Aku menangis bahagia kala mendengar kalimat manja itu. Aku tak pernah merasakan keindahan ini sebelumnya.

Kemudian aku menungguinya makan coklat dan minum. Sekali waktu, aku merasa dia adalah pengganti ibuku. Tapi kali ini aku bagaikan memiliki adik perempuan. Bahagia sekali melihat dia senyum sambil mengernyitkan kelopak matanya. Rona kesejukan tampak terlukis di pipinya. Jl. Danau Bratan Timur, begitulah sebuah papan berdiri dengan tulisan ini. Di sebuah lapangan yang selamanya akan kukenang. Dan lapangan ini akan menjadi saksi bagaimana aku sangat mencintainya.

Mungkin bahasa dan penulisan serta pilihan kataku kali ini sedikit kacau, aku tak sanggup mencari kata yang lebih indah. Karena seluruh keindahan telah hanyut bersama air mata yang mengalir. Entah di mana muaranya aku tak tahu. Yang aku tahu hanya dirinya. Iya, dirinya yang begitu kucintai.

Kamis, 26 Januari 2012

Siang Ini Aku Cemburu

Begitu terik, angin menerpa dengan kuatnya. Fatamorgana terlukis bagai bunga mimosa yang menari di sela sejuk musim semi. Debu-debu beterbangan tanpa arah yang jelas, seperti ketika perasaanku hancur tertiup kebencian. Sebenarnya aku tak pernah membenci, hanya saja kenyataan cinta melukaiku. Daun-daun pohon buah nona saling bergesek menambah suasana panas semakin berdesakan menempa jantung yang berdegub melemah.

Angin hari ini begitu kerasnya, sampai-sampai mataku tak mampu memandang ke depan dengan leluasa. Namun lebih dari itu, perih dalam jiwaku bahkan sampai membatasi kata-kata dalam hatiku. Untuk sekedar memahami arti angin itu sendiri pun dia tak mampu. Begitu pula dengan pancaran sinar matahari kali ini yang begitu menyengat, karena akibat badai matahari yang mulai mendobrak atmosfir bumi sejak beberapa hari yang lalu, ia begitu ganas menumbangkan pepohonan. Melebihi dari itu, hatiku saat ini terbakar ribuan kali lebih panas. Bahkan badai cemburu ini seakan mampu menumbangkan kekuatanku sebagai seorang kesatria yang dengan kedua kakiku mampu berlarian di gurun sahara tanpa selembar alas kaki pun. Saat ini seluruh bagian tubuhku menjadi layu seperti seorang darwis hendak menjemput kematiannya.

Iya, aku sedang cemburu. Mungkin burung-burung kecil yang saat ini bersaut-sautan di dalam sarang sedang menyanyikan lagu duka cita yang dalam untukku. Sebuah pohon nagasari yang menjulang tinggi di antara juluran-juluran tali cahaya malam, dialah tempat sang burung mengintip di balik daun-daun hijau tua, mungkin mengintip induknya yang belum kembali. Tetapi pandangannya tertuju pada linangan air mata di pipi dan sisi bibirku. Memandangnya, aku merasa ditanya "Gerangan apakah tuan tersedu berduka?"

Ketahuilah kawan, aku sedang tersiksa oleh cemburu yang begitu berkobar-kobar untuk segera menghabisi tunas-tunas kerinduan yang kian hari kian bertumbuhan. Baru saja aku melihat sosok wanita yang begitu mirip wajahnya dengan pujaan tertinggi istana cintaku. Giginya, jilbabnya, keningnya, punggungnya, bahkan senyumnya. Seorang lelaki sedang memakaikan penutup kepala di depannya. Kepalaku bagaikan dipenuhi dengan batu-batu yang telah dipecah, yang sisi-sisinya telah menjadi sangat tajam. Kemudian batu-batu itu terus bertambah jumlahnya, lalu dia berusaha untuk menembus tulang tengkorak dan kulit pembungkus kepalaku.

Aku tahu bahwa itu bukan Bintangku, tetapi kebutaanku terhadap segala sesuatu telah menyulut api cemburu di dalam rongga dadaku. Api itu menembus bahkan sampai kulit dadaku hingga hitam bagai arang tersiram minyak jarak. Benar-benar sakit. Mungkin kau akan mengatakan bahwa aku gila. Iya benar, dialah cinta yang telah jauh merangsek merebut segala kerinduanku dan kini ia telah semakin membumbung tinggi untuk memusnahkan segala asa selain makna cinta itu sendiri. Dialah rasa yang kian hari kian menyayat-nyayat sebongkah hati yang sudah membiru. Aku memang sedang gila, namun gilaku jauh di atas singgahsana sang pangeran cinta yang berulang kali melejitkan anak panahnya ke arah timur. Berharap sang putri mengambilkan anak panah itu kemudian meletakkannya pada sebuah bejana berhiaskan zamrud kepada sang pangeran.

Duhai Tuhanku, aku tak pernah tahu kapan aku akan sembuh dari ketidak sadaranku. Bahkan aku sudah menganggap apa yang baru saja kulihat hanyalah sebuah bayangan atau tidak lebih seorang Qorin. Namun kerinduan yang sangat semakin mengobarkan api cemburu ini. Aku tidak pernah tahu harus pergi ke mana untuk mengadu. Tuhanku, kumohon siramlah api ini dengan air mata dari telaga kautsar, gantikan debu-debu usang menjadi penyubur ketenangan batinku yang sudah luas tumbuh. Yang hampir saja menutup kegersangan ini. Tuhanku, saksikanlah bahwa seluruh kerinduanku masih berdiri kokoh menghadap bayangnya. Tuhanku, aku mencintainya.

Jumat, 20 Januari 2012

Baju Ungu dan Sebuah Es Krim

Aku menunggunya di sebuah sudut jalan yang cukup ramai. Pertigaan Madyopuro, itulah namanya dikenal. Di tepi taman di tengah jalan aku berhenti. Kaki kananku menyentuh aspal, sedang kaki kiri menginjak rem. Sambil melihat spion motor smash biruku. Kulihat ada jerawat di antara kedua alisku. Sedikit terganggu, aku takut pujaan hatiku malu kekasihnya berjerawat. "Ah mungkin ini jerawat yang timbul akibat keseringan nglamunin Bintang" Bantah hatiku untuk sedikit menenangnkan. 

Kuraba helmku, helm INK hitam yang ukurannya lumayan terlalu besar untuk kepalaku yang relatif kecil. Ada goresan pada bagian helmku. Kacanya jg sedikit kurang rapat. Aku pernah membantingnya di depan kekasihku. Aku telah lupa kenapa. Tapi itu ekspresiku untuk meminta perhatian.  Waktu itu matanya berkaca-kaca. Mungkin karena ketakutan aku marah. Saat ini pun mataku berlinang air mata. Bulir-bulirnya membasahi pelipis saat aku memungut kertas yang tergeletak di dekatku. Aku menyesal.

Saat kecil aku selalu dibentak, kurang perhatian secara hati ke hati. Akhirnya aku suka mencari perhatian dengan membanting dan membuang sesuatu. Kebiasaan ini terbawa sampai seorang gadis belia menyentuh hatiku yang terlanjur membatu. Dialah Bintang, kecantikannya mampu membuatku terbius dan melupakan segala lara. Lembut tutur katanya melunakkan amarahku. Namun saat itu aku tidak tahu setan apa yang telah menyusup di antara ruang-ruang hatiku. Aku tidak pernah seperti itu sebelumnya. Jangankan membanting helm, dia menatap saja aku tak kuasa membalas tatapannya.

Kembali pada topik, 5 menit aku menunggu. Tiba-tiba terik mentari berubah sejuk. Kulit leherku terasa tersiram air dari pegunungan. Udara tiba-tiba bertiup lembut di sela rambutku yang menyembul di bawah helm. Keringatku terasa seperti air yang meresap ke baju sesaat setelah mandi. Rupanya bidadari manis telah menyihir segala keresahanku menjadi sebuah lukisan pelangi dan senyum indah di buku kehidupanku hari ini. Bajunya ungu, begitu pula dengan jilbabnya. 

Lambaian tangannya terlihat sedikit buram akibat lalu lalang kendaraan. Cukup ramai memang jika masih siang begitu. Di tambah beberapa angkutan warna biru yang berjajar di tepi jalan membuat sedikit macet. Suara sopir dan makelar angkutan bersaut-sautan mencari penumpang. Sesekali knalpot motor khas anak muda membuat suasana semakin bising. Beberapa saat kemudian pemilik hatiku telah mendekat pada motorku. Tanpa menunggu lama dia langsung naik di belakangku. Seperti sudah hafal, tanpa malu dan canggung dia berkata "Sudah Mas.." Dari spion aku melihat senyumnya menghias wajahnya yang begitu mempesona.

Perjalanan dimulai. Aku lupa saat itu tujuan kami ke mana. Yang jelas di sebuah jalan di daerah sawojajar kami berhenti untuk waktu yang cukup lama. Di atas motor kami menikmati es krim berdua. Es krim coklat, ni'mat sekali. Makanan coklat saja paling saya sukai, ini ditambah berdua dengan kekasih saya. Jangankan es krim, air putih bekas diminum orang saja saya tidak mau. Ini malah bekas dijilat orang saya makan. Tetapi begitulah cinta membungkus semuanya menjadi begitu menawan. Siang itu kami nikmati di tepi jalan, di bawah sebuah pohon yang tidak seberapa rindang. Namun awan cinta cukup untuk menahan terik di antara dedaunan yang berguguran. Baju ungu dan es krim itu tidak akan pernah kulupakan.

Perpecahan

Saya teringat dengan perkataan salah seorang teman. Dia adalah teman yang cukup dekat dengan saya. Kebetulan kami tergabung dalam komunitas Indigo di sekolah. Kami selalu bekerja sama dan saling membantu untuk hal-hal tertentu. Khususnya dalam masalah yang tidak rasional dan sulit dinalar. Berbekal kelebihan kami masing-masing. Kebetulan penglihatan mata lahir teman saya tersebut lebih waskita dari saya. Sedangkan saya kebetulan memiliki basic penyembuhan dan penglihatan mata batin.

Suatu ketika dia mengatakan bahwa dalam mimpinya saya jatuh ke dalam jurang akibat melihat sosok wanita cantik berbaju merah. Saya sempat menceritakan mimpi teman saya pada kekasih. Kekasih saya meyakinkan "Sudahlah sayang, tidak akan terjadi apa-apa di antara kita". Saya pun tersenyum dan kembali yakin. Hari demi hari saya lewati dengan sedikit kecemasan. Saya tidak ingin berpisah dengan kekasih saya walaupun hanya sekejap mata. Dia terlanjur memberikan nafas kehidupan untuk paru-paru rindu yang saya miliki. Dia telah memberikan kekuatan untuk jantung saya terus berdegup. Dia adalah segalanya. Iya, segalanya.

Benih-benih kehancuran telah saya rasakan. Pelangi yang selama ini menghiasi taman-taman cinta kami perlahan memudar. Sinar cintanya kian meredup. Kehangatan kasih sayangnya tiba-tiba menyengat bagaikan matahari saat siang hari di tengah padang gurun. Sangat terik. Semilir angin yang berhembus saat saya terlelap di sampingnya berubah menjadi badai yang menghantam relung-relung halus di hati saya. Ucapan lembutnya semakin sirna tergantikan oleh sambaran-sambaran pedas. Tiada lagi keharmonisan.

Seorang gadis adik kelas saya yang menjadi pemicu. Walaupun bukan pemicu satu-satunya. Karena di pihak kekasih saya pun sama, ada yang lain. Namun saya tidak akan membahasnya. Biarlah, seolah-olah ini memang sepenuhnya salah saya. Entah terbius oleh racun apa saya. Entah terhipnotis oleh sihir tingkat apa saya waktu itu. Dengan mudahnya saya takhluk terhadap gadis itu. Saya harus melalikan kekasih yang selama ini menjadi tempat meletakkan kebahagiaan dan sakit. Bukan hanya kekasih yang akhirnya pergi, bahkan saya harus terlibat permusuhan dengan guru Fiqh saya akibat gadis ini.

Seperti teradu domba tanpa sadar. Bahkan saya pernah terkena santet akibat masalah ini. Beruntung saya sedikit paham mengenai berbagai macam sihir dan penangkalnya. Akhirnya saya tidak sampai parah terkena, bahkan pengirim saya buat masuk rumah sakit atas izin Allah. Tapi bukan ini fokus cerita saya. Karena mungkin di antara pembaca ada yang kurang atau bahkan tidak yakin dengan hal seperti ini.

Sekali lagi, bahwa saat itu saya seperti ada dalam perangkap. Tanpa sadar, setelah sekian lama saya berpisah dengan kekasih akhirnya saya sadar. Saya bangkit dan berusaha meninggalkan gadis itu. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk memtuskan hubungan dengan dia. Saya tidak peduli dia keluarga kiyai atau apalah. Yang jelas setelah berjalan lama dan hasil analisa saya, ternyata dia termasuk salah satu anak indigo dengan kelainan mental. Tetapi dia memiliki kemampuan alami untuk mempengaruhi dan menakhlukkan orang, khususnya lawan jenisnya.

Beruntung saya pernah dibekali ilmu kepekaan hati oleh salah seorang guru. Beruntung pula saya belum sempat ada ikatan apa pun denga gadis itu. Jadi bisa dikatakan bahwa sampai detik ini saya tetap sendiri setelah perpecahan itu. Sedangkan kekasih saya saat itu sudah menjalin ikatan dengan yang lain. Rupanya kesadaran saya benar-benar terlambat. Bahkan air mata darah saya pun tidak ada nilainya di mata kekasih yang selama ini saya bangga-banggakan.
 
Ini mungkin memang salah saya, sekalipun saya tidak sepenuhnya sadar. Semua sudah terlambat, tetapi keterlambatan saya tidak boleh berlarut. Memang ini sempat membuat saya terpuruk dan tersiksa. Bagaimana mungkin bisa, setelah terbangun dari tidur yang tidak terlalu panjang, tiba-tiba saya harus disuguhi pemandangan kemesraan kekasih saya dengan yang lain. Saya tahu jauh di lubuk hatinya masih tersemat nama saya. Hanya saja secara psikologis memang perempuan akan lebih mudah menambatkan hatinya pada laki-laki lain saat hatinya terluka. Saya tidak bisa menyalahkannya.

Sekitar dua setengah tahun ini saya lalui sendiri. Menahan luka yang sangat. Hampir setiap bulan sakit saya kambuh hanya karena stress memikirkan kekasih saya. Sangat ironis, padahal saya adalah ahli terapi air muda dengan ratusan pasien yang sembuh dari berbagai penyakit berat. Tidak ada yang mampu menghapuskan rindu yang tiada bertepi ini. Tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali menunggu keajaiban. Untuk sedikit meredakan menggigilnya hati saya karena kerinduan ini, saya hanya bisa menuangkan semuanya lewat cerita dan puisi. Setidaknya di sela sakit saya, masih ada yang bisa dihasilkan dan tidak sia-sia. Saya lebih memilih ini daripada harus menanggapi banyaknya gadis-gadis cantik yang berseliweran dalam kehidupan saya. Setidaknya ini bentuk penjagaan hati saya.

Kamis, 19 Januari 2012

Hujan Semakin Lebat

Siang itu langit begitu mendung. Sesekali sinar lembut mentari menerobos sela awan yang renggang. Membuat bayangan di sebelah timurku. Bayangan yang tak begitu hitam dan jelas. Berbeda dengan bayangan kekasihku yang selalu setia menemani langkah dan detak jantungku. Bayangan yang begitu hitam pekat, hingga aku kesulitan untuk mencari formula penghapusnya. Dia bukanlah noktah, sekali lagi hanya sebuah bayangan. Tak ubahnya bayangan lain, ia tidak pernah mambuatku tersandung. Dia hanya menjadi warna saat siang datang, kemudian terhapus oleh mendung hatiku, lalu terhapus hujan untuk sementara. Malamnya ia muncul di antara dingin hawa kegelapan. Namun kegelapan yang seringkali dihangatkan sang bulan, atau setidaknya sebuah lilin kecil. Maka dialah bayangan. Bagaimana mungkin Bintang yang dulu berkedipan untuk melukiskan senyumku, kini menjadi bayang-bayang yang aku sendiri sulit mengejar atau bahkan untuk sekedar berlari menjauh.

Hari itu, aku pulang sekolah lebih awal. Masih dengan seragam pramuka. Tidak seperti teman-teman sekelasku lainnya, yang biasa masih seru di kelas dengan berbagai kegiatan favoritnya, aku selalu menyegerakan diri pulang. Istirahat sejenak, siang itu cukup melelahkan dan membuat pening sisi-sisi kepalaku. Merebah badan sejenak kiranya cukup melepaskan lelah, setidaknya merilekskan pikiran yang begitu penat dengan segala aktivitas kelas akselerasi.  Volume dering HP kumaksimalkan. "Nanti kalau sudah waktunya pulang, sms ya cantik. Kalau aku belum bales, misscall aja, aku istirahat sebentar" Begitulah isim sms saya. Dia belum balas, akhirnya saya memejamkan mata.

Aku terbangun oleh nada sms yang berdering dari HP Nokia 1208 milikku. HP ini dulu dibelikan ayah. Aku memintanya khusus agar bisa berkomunikasi dengan kekasihku. Sebenarnya aku tak tega harus meminta ke ayah, tetapi cinta membuatakan hatiku. Ayah membelikannya untukku dengan syarat jangan pernah dijual. Suatu saat ternyata HP ini harus kujual untuk melupakan kekasihku di saat realitas harus memisahkan kami. Sepertinya aku menyakiti hati ayahku hanya karena kekasih. Aku tak punya daya apa pun selain melakukannya. Kembali pada cerita, "Mas, aku sudah pulang. Tak tunggu ya.." Isi sms yang kubaca.

"Iya,cantik.." Balasku. Cuci muka dan segera berangkat. Kutunggu dia di seberang gerbang. Hujan mulai rintik-rintik, dia belum juga keluar. Bahu dan punggungku sepertinya sudah sedikit basah. Dari kerumunan siswa SMA7 tampak ada cahaya menyembul keluar. Berseragam pramuka berlapskan jaket berwarna jingga. Begitu mempesona. Barisan rata giginya saat tertawa bercanda dengan temannya begitu indah. Padahal mataku minus, tapi karena cinta, gigi saja sampai terlihat. Kali ini cinta tidak membutakan mataku, tetapi justru membuat tajam penglihatanku.

"Maaf mas lama, tadi masih ditahan anak-anak.." Ucap lembutnya. Kemudian dia segera naik di belakang. Tangan kanannya memegang bajuku, sedang tangan kirinya memegang tasnya. Di tengah perjalanan kami selingi dengan perbincangan ringan. sesekali dia mencubit perutku ketika aku berbicara yang menjengkelkannya. Suasana itu mewarnai pelangi-pelangi cinta kami yang kadang pudar oleh jarak dan waktu. Kemudian menjadi bersinar kembali dan ni'mat untuk dipandang.

"Aku kangen mas.." Ucapnya lirih di sebelah kananku. Ucapan yang tidak mungkin pernah terlupa. Bahkan aku masih sangat ingat warna suaranya ketika usianya masih sekitar 15 tahun. Nyaring didengar, getarannya begitu lembut menentramkan. Dia benar-benar mengucapkannya dengan cinta. "Hala ketemu hampir tiap hari kok kangen toh sayang.." Jawabku dengan sok tidak percaya dan nada bercanda. Percakapan gombal kami terhenti untuk jarak yang cukup jauh, sekitar 300 meter. Saat itu kami melewati jalan yang sedikit rusak di daerah sawojajar. Ucapan mesranya berganti "Ati-ati mas..", dan aku selalu mengucapkan "Awas sayang angkat kakinya.." Itu selalu kuucapkan saat ada genangan air. Berharap kekasihku mengangkat kakinya dan air kotor tidak sampai menyentuhnya. Karena hanya air mataku yang pantas untuknya.

Sampai di jalan wisnuwardhana, hujan semakin lebat. Bahkan sungai di kanan jalan sepertinya meluap. Kami berteduh di depan sebuah rumah kecil. Sepertinya ini bekas bengkel sepeda motor, terlihat dari lantainya yang kusam terkena oli. Motor kuparkir menghadap utara. Tidak sempat merubah posisi karena hujannya deras. Aku membetulkan jaketnya yang masih belum tertutup rapi resletingnya, "Dia tidak boleh kedinginan.." Dalam hatiku. Di sisi lain aku iri terhadap jaket jingganya, andai saja aku yang jadi jaketnya, mungkin aku bisa jauh lebih membuatnya hangat. Ah sudahlah, bukankah cintaku telah cukup untuk membuatnya hangat.

"Mas, hujannya sudah lumayan reda. Kita pulang saja ya, ditunggu mama. Nanti pulangnya mas biar dipinjami baju adekku.." Aku tidak pernah bisa menolak keinginannya. Kalau pun bisa, setelah menatap kedua boa matanya, pasti aku tertunduk dan akhirnya menurut. Di sinilah peran cinta sebagai penakhluk kerasnya hati. Benar, sampai di rumah aku semakin basah kuyup. Akhirnya mandi dan dipinjami pakaian milik adeknya. Beristirahat di ruang tamunya sejenak. Setelah reda, aku pun pulang. Sekalipun harus basah-basahan tidak masalah asalkan bisa mengantarkannya. Kebahagiaannya adalah ketentraman hatiku.

Selasa, 10 Januari 2012

Semanis Es Cincau Semanis Wajahmu

Sesak kendaraan begitu memenuhi ruas-ruas jalan. Terik matahari sesekali membuat saya mengusap dahi. Seperti biasa, saya dengan rombongan setia saya satu geng. Berjalan paling depan dengan wajah menantang. Celana putih sedikit melorot sehingga ukurannya menjadi tiga per empat. Hem putih berlogokan 9H warna kuning pada bahu sebelah kanan. Di dalamnya kaos berwarna biru. Kancing saya buka dua yang paling atas. Rambut british dengan hiasan bulu mata yang panjang seperti daun kelapa.

Sambil bercanda dan ngobrol melewati Rel kereta api dekat SMP3 kemudian lupa melalui jalur mana sehingga tembus sampai Pasar Comboran. Tujuan kami adalah SMK4 dan SMA5. Waktu itu sudah selesai UN, kami sibuk mencari pandangan untuk kelanjutan sekolah. Sampai di depan gerbang SMK4, beberapa menit kemudian angin tiba-tiba berhembus mesra. Keringat di pelipis saya rasanya seperti embun kecil yang menetes dari pohon pakis. Kesejukan itu kembali datang dan saya tak mampu menahan senyum yang begitu merekah indah.

Dengan pita merah muda di kerudung putihnya ia datang. Tasnya menyamping, jaketnya tersampir di salah satu lengannya. Jaket jingga yang pernah saya pinjam sehari semalam untuk menemani tidur saya. "Aku pinjam jaketnya, sayang. Tapi jangan dicuci dulu ya." Begitulah kata-kata saya pada suatu ketika. Tapi saya meminjam jaket ini adalah jauh setelah kami sudah SMA. "Lho kenapa mas? Ndak mending dicuci dulu?" Jawabnya. "Ndak, aku ingin harum keringatmu benar-benar memberikan suasana keberadaanmu saat menemaniku terlelap." Bantah saya.

Dia datang juga dengan beberapa temannya. Hanya beberapa saat, akhirnya gadis cantik ini pun menemani saya berjalan. Alasannya pulang, tapi pulang kok muter-muter dulu lewat comboran, pasar besar, gajah mada, dan alun-alun. Hahaha. Dasar anak muda pintar cari alasan. Waktu itu jika tidak salah adalah hari Senin. Saya haus, sampai di dekat pertigaan comboran yang akan ke arah Pasar Besar, kami berhenti sejenak. Saya beli es Cincau. Warnanya hijau dengan kuah santan bercampur es. Dinginnya mampu meredam dahaga dalam tenggorokan saya. Namun gadis cantik ini lebih belum mampu meredam rindu saya karena 1 hari tidak bertemu, kan kemarin hari Minggu.

"Sayang es juga ya??" Saya menawari dengan nada saya buat sehalus dan seromantis mungkin. Jarang-jarang bahkan bisa dikatakan tidak pernah saya bicara dengan wanita saya atur sedemikian rupa. Kurang kerjaan sekali baik-baikin anak orang. Dari dulu saya tidak seberapa memikirkan wanita. "Koen iku gak seneng arek wedok ta? Diuber-uber arek SMP TD, SMP 3, SMP 20, SMK 3 tapi ngadoh" Kata makelar angkot di halte saking pegelnya. Karena orang itu selalu menjadi tempat titipan salam, makanan dan surat dari penggemar-penggemar saya lintas sekolah.

Kembali lagi ke cerita, "Ndak mas, aku puasa. Mas aja." Jawabnya lebih halus dengan senyum yang dihiasi sedikit dua gigi depannya yang besar dan lucu. Ya akhirnya karena sudah terlanjur memesan, saya minum saja. Dia duduk setia di samping kanan saya. Sesekali berbicara, entah apa yang kami bicarakan, saya tidak mampu mengingat sampai sedetail itu. Lidah bagian depan saya merasakan betapa manisnya gula es cincau ini. Sesekali saya aduk dengan sendok kecil untuk meratakan gula merahnya. Sambil mencuri pandang selama mungkin saat ia memandang ke arah jalan atau arah kanan. Begitu dia menoleh ke saya, saya pura-pura minum dengan serius. Ternyata paras wajahnya begitu mempesona melebihi manisnya es ini. Bahkan untuk sekedar kilau mata indahnya saat memandang mampu menembus dinginnya es yang sedang saya minum kemudian menggantikannya dengan kesejukan cinta. Jalanan yang begitu macet dan panas berubah menjadi taman-taman surga dengan sungai-sungai yang mengalir di sekitarnya.

Waktu sudah semakin siang, kami harus pulang. Dia sepertinya kelelahan. Sudah puasa, saya ajak jalan panas-panas, jauh pula. Dasar Adi ini, tidak berperi kegadisan. Hahaha. Salah sendiri mau. Ya yang namanya cinta, jangankan jalan jauh, jalan dekat saja dijalani. (Maksudnya???). Ah sudah, serius ini. Akhirnya saya tawari lagi untuk membatalkan puasanya, toh puasa sunnah. Ada undangan makan-makan saja dianjurkan untuk membatalkan (Hadist Shahih). Apa lagi ada tawaran makan dari kekasih. (Apa hubungannya to?) --Tanya Dinas Perhubungan--.

Akhirnya mau juga ni bidadari saya. Pesan nasi tahu telor dan es jeruk masing-masing 2. Makan berdua di bangku paling utara. Tempatnya panas, hanya tertutup kain spanduk beratapkan seng. Letaknya di pojokan parkiran dekat TB Siswa (Timur Alun-Alun). Seperti biasa makan saya sedikit, jadi tidak habis. Saya lupa waktu itu dihabiskan dia atau tidak, karena jika makanan kami tidak habis, salah satu pasti membantu menghabiskan. Romantis ya?? Romantis apanya, kekenyangan salah satu yang ada. Hehehe.


Ya begitulah cerita waktu itu, akhirnya kami berjalan menuju halte di sebelah jembatan penyeberangan yang menghubungkan Alun-Alun dengan trotoar Sarinah. Dia pulang terlebih dahulu naik MM (Mulyorejo Madyopuro). Yah saya ditinggal. Baru ditinggal di angkot sudah sms-sms kangen. Lagi-lagi mabuk cinta menyelimuti seluruh syaraf-syaraf kesadaran kami. Apa pun rasa saat itu, entah panas, gerah, lelah, tapi ada satu yang mengalahkan semua itu, manis wajahnya semakin menghias relung-relung hati saya. Assseeeek.. :D

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More