Kupersembahkan Blog Ini Untuk Orang Yang Pernah Mendiami Relung Terdalam di Hatiku, "BINTANG"

Pages

Kamis, 26 Januari 2012

Siang Ini Aku Cemburu

Begitu terik, angin menerpa dengan kuatnya. Fatamorgana terlukis bagai bunga mimosa yang menari di sela sejuk musim semi. Debu-debu beterbangan tanpa arah yang jelas, seperti ketika perasaanku hancur tertiup kebencian. Sebenarnya aku tak pernah membenci, hanya saja kenyataan cinta melukaiku. Daun-daun pohon buah nona saling bergesek menambah suasana panas semakin berdesakan menempa jantung yang berdegub melemah.

Angin hari ini begitu kerasnya, sampai-sampai mataku tak mampu memandang ke depan dengan leluasa. Namun lebih dari itu, perih dalam jiwaku bahkan sampai membatasi kata-kata dalam hatiku. Untuk sekedar memahami arti angin itu sendiri pun dia tak mampu. Begitu pula dengan pancaran sinar matahari kali ini yang begitu menyengat, karena akibat badai matahari yang mulai mendobrak atmosfir bumi sejak beberapa hari yang lalu, ia begitu ganas menumbangkan pepohonan. Melebihi dari itu, hatiku saat ini terbakar ribuan kali lebih panas. Bahkan badai cemburu ini seakan mampu menumbangkan kekuatanku sebagai seorang kesatria yang dengan kedua kakiku mampu berlarian di gurun sahara tanpa selembar alas kaki pun. Saat ini seluruh bagian tubuhku menjadi layu seperti seorang darwis hendak menjemput kematiannya.

Iya, aku sedang cemburu. Mungkin burung-burung kecil yang saat ini bersaut-sautan di dalam sarang sedang menyanyikan lagu duka cita yang dalam untukku. Sebuah pohon nagasari yang menjulang tinggi di antara juluran-juluran tali cahaya malam, dialah tempat sang burung mengintip di balik daun-daun hijau tua, mungkin mengintip induknya yang belum kembali. Tetapi pandangannya tertuju pada linangan air mata di pipi dan sisi bibirku. Memandangnya, aku merasa ditanya "Gerangan apakah tuan tersedu berduka?"

Ketahuilah kawan, aku sedang tersiksa oleh cemburu yang begitu berkobar-kobar untuk segera menghabisi tunas-tunas kerinduan yang kian hari kian bertumbuhan. Baru saja aku melihat sosok wanita yang begitu mirip wajahnya dengan pujaan tertinggi istana cintaku. Giginya, jilbabnya, keningnya, punggungnya, bahkan senyumnya. Seorang lelaki sedang memakaikan penutup kepala di depannya. Kepalaku bagaikan dipenuhi dengan batu-batu yang telah dipecah, yang sisi-sisinya telah menjadi sangat tajam. Kemudian batu-batu itu terus bertambah jumlahnya, lalu dia berusaha untuk menembus tulang tengkorak dan kulit pembungkus kepalaku.

Aku tahu bahwa itu bukan Bintangku, tetapi kebutaanku terhadap segala sesuatu telah menyulut api cemburu di dalam rongga dadaku. Api itu menembus bahkan sampai kulit dadaku hingga hitam bagai arang tersiram minyak jarak. Benar-benar sakit. Mungkin kau akan mengatakan bahwa aku gila. Iya benar, dialah cinta yang telah jauh merangsek merebut segala kerinduanku dan kini ia telah semakin membumbung tinggi untuk memusnahkan segala asa selain makna cinta itu sendiri. Dialah rasa yang kian hari kian menyayat-nyayat sebongkah hati yang sudah membiru. Aku memang sedang gila, namun gilaku jauh di atas singgahsana sang pangeran cinta yang berulang kali melejitkan anak panahnya ke arah timur. Berharap sang putri mengambilkan anak panah itu kemudian meletakkannya pada sebuah bejana berhiaskan zamrud kepada sang pangeran.

Duhai Tuhanku, aku tak pernah tahu kapan aku akan sembuh dari ketidak sadaranku. Bahkan aku sudah menganggap apa yang baru saja kulihat hanyalah sebuah bayangan atau tidak lebih seorang Qorin. Namun kerinduan yang sangat semakin mengobarkan api cemburu ini. Aku tidak pernah tahu harus pergi ke mana untuk mengadu. Tuhanku, kumohon siramlah api ini dengan air mata dari telaga kautsar, gantikan debu-debu usang menjadi penyubur ketenangan batinku yang sudah luas tumbuh. Yang hampir saja menutup kegersangan ini. Tuhanku, saksikanlah bahwa seluruh kerinduanku masih berdiri kokoh menghadap bayangnya. Tuhanku, aku mencintainya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More