Kupersembahkan Blog Ini Untuk Orang Yang Pernah Mendiami Relung Terdalam di Hatiku, "BINTANG"

Pages

Rabu, 15 Februari 2012

Sepiring Berdua

Tiada yang melebihi indahnya saat-saat kebersamaan dalam sebuah cinta. Setidaknya kalimat itulah yang selalu bergema di dalam sudut hati saya yang terdalam. Saya merasakan getaran yang begitu luar biasa. Getaran itu mampu meruntuhkan semua benteng ketegaran saya. Getaran yang mampu menjatuhkan seluruh air mata yang sebenarnya telah kering sejak kami bersama. Kemudian air mata itu setetes demi setetes menggenangi luka yang kering. Lalu asamnya menusuk setiap jaringan yang teriris, betapa sakit yang kini sedang saya rasa. Bukan hanya sakit, namun perih bercampur duka. Entah apakah ini sebagai bagian dari sebuah perjalanan cinta.

Mencintainya hanya butuh waktu sejenak. Cukuplah indah senyumnya, bulat pipinya saat tersenyum, --dagunya terangkat ketika tersenyum, sehingga pipinya nampak lebih bulat--, lembut tatap matanya, harum keringatnya, mempesona setiap langkahnya, yang mampu memenjarakan seluruh rasa yang selama ini saya biarkan terlepas tanpa arah. Begitu kuat sihir cintanya, yang membuat seluruh mata saya tertutup dari seluruh bidadari yang tersimpan di atas langit. Hanya ada lukisan senyumnya yang menghiasi setiap sudut dinding hati saya. 

Kala itu lukisan-lukisan wajahnya dalam hati saya membisikkan kata rindu. Lalu meniupkan aingin sepoi ke dalam jantung saya. Dinginnya suhu kerinduan semakin menggetarkan sekujur tubuh saya hingga ke ujung rambut. Saya ingin menemuinya, sangat ingin. Suasana belajar di kelas yang menyenangkan tiba-tiba gerah rasanya. Karena AC yang terpasang pada ujung barat dinding kelas saya tidak mampu mendinginkan kobaran cinta yang saat ini kian membumbung. Di sisi lain, saya sangat menggigil membutuhkan belaian hangatnya cinta sang kekasih.

Jika kalian tanyakan bagaimana rasanya, mungkin hampir sama seperti saat kalian mengalami demam tinggi. Namun itu hanya sepersepuluh dari rasa rindu yang saat itu bertaburan mengitari seluruh aura saya. Betapa dinginnya, namun suhu tubuh kalian sangat panas. Lalu apalah daya melawan sebuah demam tanpa adanya penurun panas? Maka dialah sang penurun panas, penawar kerinduan, Bintang nama indahnya. Iya, Bintang. Begitulah saya selalu menyebutnya dalam setiap pesan dan surat.

Kami memutuskan untuk saling bertemu. Saya telat, rupanya dia sudah menunggu dengan seragam barunya. Putih-putih, memakai tas sebelah, sambil memegang sebuah jaket. "Sayang, maaf telat.." Kata saya dengan wajah pucat karena takut dia marah. "Iya mas ndak apa-apa kok.." Jawabnya ringan sambil tersenyum. Kami berjalan sedikit jauh, sekitar 200 meter dari tempatnya menunggu. Dia selalu menunggu di pojok sebuah toko di dekat belokan Jalan Kendalsari.

Sampailah kami pada sebuah warung. Lesehan 74 namanya, ornamen dan karpetnya berwarna merah. Mungkin melambangkan bergejolaknya cinta yang menyelimuti kami berdua. Seperti hari-hari sebelumnya, jika kami sedang tidak banyak uang, kami pesan satu makanan dan dua minuman. Hari itu pun demikian, sesekali saling menyuapi. Kadang makanan tercecer, jatuh, tersangkut di bawah bibir. Saling membersihkan dengan tangan kami. Diiringi musik-musik romantis yang kadang diputar di warung tersebut.

"Mas, cemot.." Katanya dengan nada lucu sembari membersihkan dengan selembar tissue. Ada cinta terpancar di kornea matanya yang kecoklatan. Ada damai dalam hatinya saat di dekat saya. Ada kasih sayang yang begitu besar dalam setiap sentuhannya. Ada segalanya yang sebelumnya tidak pernah saya temukan. Iya, benar-benar segalanya. Dialah cinta yang begitu agung, dialah rasa yang begitu menentramkan, dialah Bintang bak lentera dalam kegelapan.

Setelah makanan habis, biasanya kami mengulu-ngulur waktu pulang agar semakin lama bertemu. Saling mengucap rindu, padahal masih dekat. Saling mengucap cinta tanpa bosannya. Saling mengucap janji tanpa letih. Kami benar-benar sedang mabuk terkena anggur cinta yang sedang kami hirup aromanya bersama. Kami lupa bahwa suatu saat mungkin saja cawan tempat anggur itu mungkin saja akan terjatuh kemudian terpecah belah menjadi sebuah kepingan-kepingan kecil yang tajam. Yang karenanya mampu menusuk, menggores bahkan mengiris genggaman erat cinta kami, lalu mencecerkan darah. Yang darah itu dengan mudahnya terhapus oleh hujan. Yang hujan itu dengan cepatnya berganti dengan kemarau. Yang dengan kemarau itu kami menjadi kehausan. Yang dengan haus itu kami menyesal. Yang dengan penyesalan itu kami kembali terluka.

Duhai Rabbku sang pemilik segenap cinta yang tertiup dalam ruhku dan ruhnya, saksikanlah bahwa bukan hanya saat itu saja cinta saya menggelora dengan kuatnya, bahwa bukan hanya karena wujudnya saya mencinta, bahwa sekalipun kami dipisahkan antar galaksi ataukah yang ratusan juta kali lipat lebih jauh, saya akan terus mengalunkan kidung-kidung cinta. Sekalipun saya tahu dia mungkin tak akan pernah mendengarnya. Saya tidak peduli, yang saya pedulikan hanya satu, "Saya mencintainya.."

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More