Kupersembahkan Blog Ini Untuk Orang Yang Pernah Mendiami Relung Terdalam di Hatiku, "BINTANG"

Pages

Everything here is about you, my lovely star,

I'm sure that one day you will read this blog and give smile for this.

My love, here I am with all my feelings,

I hope the breath of your love always blow even just through the wind

My lovely breath,

Recesses of my heart always decorate by your beautifull face

My angel,

Fly here with the whole of your long vibration

My dear,

I love you.

Senin, 27 Februari 2012

Dua Puluh Delapan Pebruari

Kali ini lidahku keluh untuk terus menyanyikan kidung-kidung cinta. Tapi hatiku tak pernah lelah untuk menyangga beban rindu seberat ini. Tanganku telah kaku untuk mencari genggam kasih, namun ia tak pernah letih untuk terus menuliskan bait-bait kerinduan. Terus saja mengalir dan mengalir seluruh arti cinta yang tersimpan dalam ruangan yang kini gelap gulita. Ruang itu sedang terkunci rapat. Tiada yang bisa membukanya, karena satu-satunya kunci telah dibawa oleh seorang gadis.

Aku tak pernah tahu di mana dan bagaimana gadis itu sekarang. Yang aku tahu cintanya selalu terlukis indah di langit-langit rasa cintaku. Seperti pelangi yang indah, bagaikan gugusan bintang yang tersusun rapi, bagaikan aliran sebuah telaga yang bergemericik merdu. Begitulah cinta, ia benar-benar sudah menyelubungi seluruh dinding luar pembungkus perasaanku. Kemudian darinya meresap rasa rindu hingga ke dalam ruang cintaku, untuk kemudian membuatku kedinginan tanpanya.

Seorang gadis, Bintang namanya. Bergetar seluruh syaraf-syaraf dalam tubuhku ketika mengingat dan menyebutnya. Bahkan hingga rasa nyeri yang sangat mengenai seluruh persendian tulangku kala merindukan tiupan-tiupan halus dari suara cintanya. Kadang aku sampai bingung bagaimana menceritakan rasanya. Ini hanya sedikit gambaran, betapa badai kerinduan meluluh lantahkan seluruh pondasi dan pilar-pilar kokoh yang menegakkanku sehingga tetap mampu melihat ke depan.

Sayangnya aku harus terlempar jatuh ke belakang dan mataku tertuju pada sebuah klise hitam putih bergambar tatapan indah matanya yang berbinar-binar. Senyum dari bibir tipisnya yang begitu mempesona. Aku dibuat tak sadarkan diri oleh seluruh harapan-harapan yang lalu. Aku tahu jika aku harus sadar, namun aku tak pernah kuasa kembali bangkit. Rasanya aku memang harus tertidur bahkan mati sampai ia datang untuk menaruh mutiara di atas dadaku untuk kemudian membuatku sadar menangis terharu karena kedatangannya.

Saat ini ada sebuah bayangan yang mengendap-ngendap di balik jendela hatiku. Siapalah dia jika bukan rasa rindu yang selalu kusebut dalam setiap tulisanku. Kerinduan inilah yang selalu membuatku terus menggali khasanah cinta. Kubiarkan saja walau kadang menyesakkan paru-paru dan lekukan tenggorokanku, hingga aku kesulitan bernafas. Tiada gunalah oksigen dari seorang penyembuh, karena dialah cintaku yang menjadi nafas sejatiku.

Baik, saatnya aku berkata sesuatu. Di saat yang lalu aku telah menorehkan sebuah tinta menjadi himpunan kata mengenai tempat-tempat kenangan yang terus saja menggerus seluruh selimut dalam dadaku. Bahkan kemeja bergarisku kini telah terkikis, sehingga kulit memar membiru terlihat jelas, mungkin karena luka yang sangat dalam menghujam tulang dada dan rusukku. Masih ingatkah sahabat tulisanku yang lalu, Kenangan Biru Putih ??

Iya, di sana ada dua angka yang terlewatkan. Bukan terlewatkan, memang sengaja kusembunyikan. Karena angka ini kusiapkan untuk tulisanku kali ini. Angka dua dan delapan, gabungan kedua angka ini --28--, merupakan tanggal kelahiran kekasih tiada tara, gadis yang tajam pelangi dalam bola matanya, yang nafasnya tiada terlupa, yang suaranya masih saja terdengar mesra di sudut sana. Dua puluh delapan Pebruari, saat ini dia berulang tahun.

Iya, kekasih hatiku lahir pada 28 Pebruari 1994, bertepatan dengan  dengan 17 Ramadhan 1414 H atau 1926 Tahun Jawa. Mungkin hanya aku yang tahu kelahirannya sampai sedetail ini. Bertepatan dengan peringatan Nuzulul Qur'an, turunnya sebuah mu'jizat. Dia pun bagai sekumpulan mutiara hikmah yang diturunkan bagai hujan saat musim kering melanda hamparan kebun-kebun kasih sayangku.

Jika demikian, saat ini dia telah berusia 18 tahun. Aku tidak pernah percaya bahwa sudah sekitar 4 tahun aku terus saja mengalirkan rasa citnaku untuk sebuah bayangannya. Karena saat ini memang hanya tinggal bayangnya. Aku tak mampu menyentuhnya dengan jemariku, maka biarlah hatiku meresapi setiap kesatuan titik yang membentuk lukisan wajah manisnya.

Setiap tahunnya aku mengucapkan selamat ulang tahun 2 kali, pertama ulang tahun berdasarkan masehi, kedua adalah berdasar tahun hijriyah. Siapakah yang telah mampu menandingi betapa sedetail itu aku sedang memperhatikannya? Aku sangat yakin dengan segala rasa yang terhimpun, jika hanya aku yang sanggup. Begitulah cinta menguatkan seluruh syaraf-syaraf  kesan kasih dalam segenap degup jantung dan aliran darahku.

Semenjak saat aku harus berpisah dengannya, setiap tanggal 28 Pebruari, kuletakkan sebuah foto pemberiannya dulu di depanku. Ini foro pertama yang ia berikan kepadaku. Sebenarnya yang kedua, hanya saja yang pertama belum sempat aku melihatnya, tapi jatuh dan hilang. Dia memberiku dengan menyelipakannya pada sebuah buku berwarna hijau, jika tidak salah buku fisika.

Mungkin foto itu terjatuh di dekat air mancur di depan kelasnya saat aku berlari bahagia karena bisa memiliki lukisan wajah cantik dengan segenap rona kasih sayangnya. Akhirnya dia memberikan sebuah foto lagi yang sampai kini kusimpan. Kuhias dengan bingkai kertas bergaris warna putih. Garisnya begitu lurus seperti lurusnya niatku untuk selalu menunggunya. Warnanya putih, seputih kain-kain yang membungkus cintaku khusus untuknya.

Dalam foto itu dia melirik ke kanan, kuletakkan di posisi seolah-olah dia sedang melirikku sambil tersenyum. Kuletakkan sedikit lebih tinggi dari tempatku bersimpuh. Dia sedang memakai jilbab berwarna biru tua dengan baju putih. Di sebelah krinya ada bantal berwarna merah muda dengans sedikit hiasan merah putih dan kuning. Sepertinya bantal ini pernah dipasangkan pada kepalaku saat aku tertidur di ruang tamunya.

Aku berdiri dengan ditopang kedua lututku, membawakan setangkai mawar merah di depan foto kekasihku itu. Sebelum mampu berucap kata, air mataku telah terlebih berjatuhan membasahi lantai. Kadang harus menunggu lama sekali untuk berhentinya tangisku yang memang tidak akan berhenti, sampai aku mampu berkata.

"Kekasihku, aku sadar bahwa aku tak kan pernah lagi kau tatap mesra seperti ini. Aku sadar bahwa jemari ini semakin jauh dan tak mungkin lagi mendapat hangat genggam halus sela jari dan telapak tanganmu. Aku sadar bahwa kian waktu kau semakin jauh dan bahkan setitik pun aku tak mampu lagi menjumpaimu. Aku sadar bahwa tiada lagi rasa itu skedar untuk membasahi kerongkonganku yang benar-benar haus ketika harus berdiri menantimu di tengah padang pasir yang sangat gersang, sementara hatiku terpenjara pada lautan salju, begitu dingin menusuk."

Terdiam sejenak, aku bagai terhipnotis. Aku merasakan harum nafasnya. Seperti terbawa dalam alam lain, aku terasa menjumpainya dalam kegelapan. Aku melanjutkan kembali untuk terus berkata pada fotonya, "Namun aku sudah cukup meresapi segenap kehangatan kasih sayangmu dengan melihatmu dalam gambar ini, aku merasa cintamu telah hidup kembali, aku bagaikan tertarik ke dalam dimensi 3 tahun yang lalu, saat aku memakai baju putih, tertidur di depanmu kemudian kau tertawa melihatku. Aku merasakan kedekatanmu duhai kasihku. Sangat dekat sekali. Duhai bidadari yang selalu memancarkan bayangan cinta, saat ini aku tak mampu membendung seluruh hempasan mata air penuh jeritan dari kelopak mataku. Tiadalah kau dengar aku menjerit sementara kau sedang tertawa dengannya. Aku tak peduli, karena aku telah menemukan arti cinta itu sendiri."

"Duhai sang perebut cinta dalam hatiku, yang engkau tiada kembali lagi, aku selalu melakukan ini setiap hari kelahiranmu, kembali aku tak peduli ada atau pun tidaknya dirimu, karena kerinduan ini selalu terhiasi kupu-kupu yang biasa beterbangan di antara kita berdua. Selamat ulang tahun duhai kekasihku. Semoga selamat dan sejahtera seluruh jiwa dan ragamu. Selamat ulang tahun kasih. Maaf hari ini aku tak mengucapkannya langsung padamu, karena aku masih ingat kata-kata menyakitkan terakhirmu -Jangan tunggu, ganggu, atau apa pun padaku- Maka biarlah aku mengucapnya pada Bintangku yang dulu, yang sekarang ada di depanku ini."

Minggu, 19 Februari 2012

Kabut di Kala Terang

Rasanya tidak ada satu tempat pun, tidak ada satu detik pun, tidak ada satu kejadian pun, tidak ada satu centi jalan pun, tidak ada satu lagu pun, yang tidak mengingatkanku pada satu masa. Yang masa itu terhiaskan senyuman-senyuman indah, terhiaskan kebahagiaan dan ketenteraman. Yang waktu itu duniaku begitu berwarna oleh biasan cahaya-cahaya pelangi. Pelangi itu warnanya begitu jelas, merah kuning hijau biru jingga ungu dan warna-warna turunannya. Begitu pulalah jelasnya warna-warni cinta yang berputar-putar mengelilinga samudera kerinduanku untuk kehadiran sebuah puteri yang baik perangainya.

Beginilah hari-hariku terus dibayangi oleh klise kenangan yang begitu memukau. Hari penuh angan-angan kosong dan harapan tak jelas ujungnya. Berharap bidadari itu kembali untuk sekedar mengucap salam dengan harum lembut seluruh cintanya. Setiap mengingatnya, aku memang terdiam saja. Seolah tiada apa-apa. Seolah aku tak pernah mengalami sederet kenangan apa pun. Di balik itu semua, jika kau melihat bahwa aku sedang benar-benar menjerit. menjerit dengan seluruh daya suaraku. Bahkan mungkin sampai tiada tersisa suaraku. Aku sedang loncat ke atas dengan tangan mengepal menahan duka yang sangat. Gerakanku tak jelas arah, saat ini tubuhku bagaikan dililit oleh rantai besar, kemudian aku diikatkan pada sebuah tiang besi. Tahukah kalian? pada tiang besi itu dialirkan arus listrik dengan kekuatan megawatt.

Maka kalian akan mendapatiku berteriak memohon untuk dilepaskan dari belenggu ini. Tetapi teriakan parauku tiadalah berguna. Karena pengikatnya telah pergi entah ke mana. Mungkin sedang berbahagia tertawa di sana. Saat ini seluruh dayaku telah terkuras habis. Bahkan untuk sekedar meneteskan air mata pun aku telah lelah tak kuasa. Untuk sekedar mengucap namanya kadang lidahku keluh. Sekalipun dalam hatiku terus bergejolak nama indahnya, Bintang.  Ini bukan berarti aku lelah untuk terus saja mencintainya. Karena bagiku dia selalu ada dalam istana cintaku. Hanya saja aku tak mampu melihat dan menggenggamnya.

Tadi pagi, kira-kira pukul 09.00 aku mencari sarapan di tempat favorit. Ketupat sayur, letaknya di depan cucian mobil Witjaksono. Di sebelah utara jalan, terlihat usang, namun tidak begitu dengan cintaku yang terus saja bersinar kemilauan seperti pantulan mentari dari ribuan tetes embun. Bagaikan berlian yang terhimpun, cinta begitu menyegarkan mata dan hati. Di depan aku melihat kedai bubur Kayungyun, teringat aku dulu pernah membawakan bubur ini saat kekasih hatiku sedang sakit. Rupanya dia senang sekali dengan bubur ini. Aku sempat menyuapinya untuk terakhir kalinya dengan bubur ini di rumah lamanya.

Duhai Rabbku Sang Pencipta Cinta yang Maha Agung, bilakah aku dibiarkan tenggelam pada kabut di kala terang ini. Bilakah aku dibiarkan untuk menguras air mata yang sudah tak mampu menetes. Bilakah aku harus berteriak sementara seluruh suaraku telah habis. Bilakah aku tetap gontai dan terjatuh sementara aku kesulitan berdiri. Duhai Penciptaku dan Pencipta ruh kekasihku, jika ini memang harus selalu kualami dalam setiap nafas yang terhirup dan terhembus, dalam setiap darah yang mengalir, dalam setiap degub irama jantung serta langkah layuku, maka berilah aku kekuatan. Kemudian abadikan kisah ini menjadi sebuah hikayat yang teramat agung. Biarkan kekasihku berada dalam bahagia, jagalah dia, jangan biarkan air matanya menetes, jangan biarkan mimik wajahnya cemberut, sekalipun dia terlihat cantik saat cemberut. Karena dia begitu berharga, Tuhanku.

Kamis, 16 Februari 2012

Sepanjang Jalan

Festival Malang Tempoe Doeloe
Cerita dua tahun silam,

Langit pagi ini nampak cerah. Secerah hatiku yang sedang terhiasi sinar mentari dari kejauhan. Dialah cintaku yang sejak semalam menaburkan bunga-bunga kegembiraan di seluruh hamparan auraku. Sejak tadi malam aku tak bisa tidur. Bukan karena resah, namun karena sebuah harapan. Aku berharap waktu berputar lebih cepat dari biasanya. Setiap saat kupandangi jam dinding warna coklat di sebelah barat dinding kamar tidurku. Dentuman jarumnya seolah mengiringi kerasnya degub jantungku yang sedang memompa darah begitu kuatnya.

Sejak beberapa waktu yang lalu kami berjanji akan bertemu untuk saling melepas rindu mengucap kasih. Sepertinya sudah lumayan lama kami belum bertemu. Rasa rindu kian menyelimuti hati ini dengan awan dingin yang begitu tebal. Akhirnya, hari ini tiba. Kami akan bertemu kira-kira jam 9 pagi. Sebenarnya kami ingin lebih pagi, namun masing-masing memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Setelah melihat jam yang jarumnya sudah hampir menuju setengah 9, saya segera mandi dan ganti baju. Bercermin berulang-ulang untuk meyakinkan bahwa saya pantas keluar dengan dia.

Seperti biasa, saya naik angkutan ABG, turun di dekat gerbang RS Lavalette. Rupanya sudah tampak sang pelita hatiku menunggu dengan baju merahnya. Begitu menyala seperti cintanya yang sedang merekah. Tatap matanya menenggelamkanku dalam buaian kasih sayangnya. Pesona senyumnya membuatku lepa segalanya. Hanya ada aku, dia dan cinta. "Sudah lama sayangku?" Kataku sambil tersenyum antara bahagia dan sok ganteng. Hehehe. Maklumlah, di depan pujaan hati, siapa yang tak akan mempersembahkan segalanya?

"Ndak kok mas.." Katanya sambil tersenyum. Yang tanya kekasihnya, pasti jawabnya gitu. Hahahaha. Ya begitulah cinta yang tak ingin membuat kekasih tersinggung. Bibirnya hari ini terlihat sedikit merah, entah karena memakai lipstik ataukah bagaimana, yang jelas hari ini dia begitu cantik. "Kita ke mana sayang?" Tanyaku dengan nada sedikit berwibawa. "Ke TS-Net dulu aja mas.." dia menjawab dengan tutur lembutnya. Ah semakin menggelorakan cintaku saja.

Di warnet sudah lumayan lama, kemudian kami berjalan kembali ke arah selatan. Karena lapar, makan dulu di sebuah warung soto. Sepertinya warung ini baru buka. Setelah lumayan kenyang, kami meneruskan perjalanan. Bingung harus ke mana. Akhirnya kami putuskan untuk ke Festival Malang Tempoe Doeloe. Ini kali kedua kami ke sini. Dulu pertama kali kami ke sini, saya memakai seragam biru putih, sedangkan dia memakai baju berwarna kuning. Di tengah perjalanan dia membeli sesuatu. Sepertinya hampir sama dengan bros yang pernah kubelikan di pameran di lapangan rampal waktu awal-awal pendekatan dulu.

Dia terlihat lelah, kami segera pulang menggunakan angkutan MM. Dia mengeluh sakit pada perutnya, untungnya saya lumayan paham titik syaraf. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi rasa sakitnya dengan menotok titik di telapak tangannya. Tangannya begitu lembut dan hangat, karena ini darurat, saya harus menyentuhnya. Syukur, akhirnya berkurang juga sakitnya. Sepanjang jalanan ini terasa indah kala di sampingnya. Kami duduk di depan samping sopir. Langit sore yang sedikit mendung mendadak terasa cerah. Karena hatiku benar-benar terbuka dari kegelapan. Hari ini akan menjadi saksi kebersamaan di antara kami. Dan menjadi bukti, bahwa aku sangat mencintainya.

Rabu, 15 Februari 2012

Sepiring Berdua

Tiada yang melebihi indahnya saat-saat kebersamaan dalam sebuah cinta. Setidaknya kalimat itulah yang selalu bergema di dalam sudut hati saya yang terdalam. Saya merasakan getaran yang begitu luar biasa. Getaran itu mampu meruntuhkan semua benteng ketegaran saya. Getaran yang mampu menjatuhkan seluruh air mata yang sebenarnya telah kering sejak kami bersama. Kemudian air mata itu setetes demi setetes menggenangi luka yang kering. Lalu asamnya menusuk setiap jaringan yang teriris, betapa sakit yang kini sedang saya rasa. Bukan hanya sakit, namun perih bercampur duka. Entah apakah ini sebagai bagian dari sebuah perjalanan cinta.

Mencintainya hanya butuh waktu sejenak. Cukuplah indah senyumnya, bulat pipinya saat tersenyum, --dagunya terangkat ketika tersenyum, sehingga pipinya nampak lebih bulat--, lembut tatap matanya, harum keringatnya, mempesona setiap langkahnya, yang mampu memenjarakan seluruh rasa yang selama ini saya biarkan terlepas tanpa arah. Begitu kuat sihir cintanya, yang membuat seluruh mata saya tertutup dari seluruh bidadari yang tersimpan di atas langit. Hanya ada lukisan senyumnya yang menghiasi setiap sudut dinding hati saya. 

Kala itu lukisan-lukisan wajahnya dalam hati saya membisikkan kata rindu. Lalu meniupkan aingin sepoi ke dalam jantung saya. Dinginnya suhu kerinduan semakin menggetarkan sekujur tubuh saya hingga ke ujung rambut. Saya ingin menemuinya, sangat ingin. Suasana belajar di kelas yang menyenangkan tiba-tiba gerah rasanya. Karena AC yang terpasang pada ujung barat dinding kelas saya tidak mampu mendinginkan kobaran cinta yang saat ini kian membumbung. Di sisi lain, saya sangat menggigil membutuhkan belaian hangatnya cinta sang kekasih.

Jika kalian tanyakan bagaimana rasanya, mungkin hampir sama seperti saat kalian mengalami demam tinggi. Namun itu hanya sepersepuluh dari rasa rindu yang saat itu bertaburan mengitari seluruh aura saya. Betapa dinginnya, namun suhu tubuh kalian sangat panas. Lalu apalah daya melawan sebuah demam tanpa adanya penurun panas? Maka dialah sang penurun panas, penawar kerinduan, Bintang nama indahnya. Iya, Bintang. Begitulah saya selalu menyebutnya dalam setiap pesan dan surat.

Kami memutuskan untuk saling bertemu. Saya telat, rupanya dia sudah menunggu dengan seragam barunya. Putih-putih, memakai tas sebelah, sambil memegang sebuah jaket. "Sayang, maaf telat.." Kata saya dengan wajah pucat karena takut dia marah. "Iya mas ndak apa-apa kok.." Jawabnya ringan sambil tersenyum. Kami berjalan sedikit jauh, sekitar 200 meter dari tempatnya menunggu. Dia selalu menunggu di pojok sebuah toko di dekat belokan Jalan Kendalsari.

Sampailah kami pada sebuah warung. Lesehan 74 namanya, ornamen dan karpetnya berwarna merah. Mungkin melambangkan bergejolaknya cinta yang menyelimuti kami berdua. Seperti hari-hari sebelumnya, jika kami sedang tidak banyak uang, kami pesan satu makanan dan dua minuman. Hari itu pun demikian, sesekali saling menyuapi. Kadang makanan tercecer, jatuh, tersangkut di bawah bibir. Saling membersihkan dengan tangan kami. Diiringi musik-musik romantis yang kadang diputar di warung tersebut.

"Mas, cemot.." Katanya dengan nada lucu sembari membersihkan dengan selembar tissue. Ada cinta terpancar di kornea matanya yang kecoklatan. Ada damai dalam hatinya saat di dekat saya. Ada kasih sayang yang begitu besar dalam setiap sentuhannya. Ada segalanya yang sebelumnya tidak pernah saya temukan. Iya, benar-benar segalanya. Dialah cinta yang begitu agung, dialah rasa yang begitu menentramkan, dialah Bintang bak lentera dalam kegelapan.

Setelah makanan habis, biasanya kami mengulu-ngulur waktu pulang agar semakin lama bertemu. Saling mengucap rindu, padahal masih dekat. Saling mengucap cinta tanpa bosannya. Saling mengucap janji tanpa letih. Kami benar-benar sedang mabuk terkena anggur cinta yang sedang kami hirup aromanya bersama. Kami lupa bahwa suatu saat mungkin saja cawan tempat anggur itu mungkin saja akan terjatuh kemudian terpecah belah menjadi sebuah kepingan-kepingan kecil yang tajam. Yang karenanya mampu menusuk, menggores bahkan mengiris genggaman erat cinta kami, lalu mencecerkan darah. Yang darah itu dengan mudahnya terhapus oleh hujan. Yang hujan itu dengan cepatnya berganti dengan kemarau. Yang dengan kemarau itu kami menjadi kehausan. Yang dengan haus itu kami menyesal. Yang dengan penyesalan itu kami kembali terluka.

Duhai Rabbku sang pemilik segenap cinta yang tertiup dalam ruhku dan ruhnya, saksikanlah bahwa bukan hanya saat itu saja cinta saya menggelora dengan kuatnya, bahwa bukan hanya karena wujudnya saya mencinta, bahwa sekalipun kami dipisahkan antar galaksi ataukah yang ratusan juta kali lipat lebih jauh, saya akan terus mengalunkan kidung-kidung cinta. Sekalipun saya tahu dia mungkin tak akan pernah mendengarnya. Saya tidak peduli, yang saya pedulikan hanya satu, "Saya mencintainya.."

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More