Rasanya telah cukup lama tanganku tiada menoreh lukisan cinta dalam lembaran ini. Bukannya aku lelah untuk terus mengungkap segenap rasa yang membumbung dalam segenap asa. Aku hanya diam bertafakkur. Aku ingin apa yang kupersembahkan selanjutnya sanggup meruntuhkan puing-puing kebencian dalam prahara cinta.
Iya benar, aku telah terluka tersayat di tengah badai gelora. Aku hanya sanggup berdiri sejenak untuk berjalan tidak lebih dari sejengkal, kemudian terjatuh lagi. Tanganku pun membeku dan tiada lagi kuat menggenggam. Bibirku telah kering hingga tak mampu mengucap. Namun aksara cintanya selalu tergambar jelas di dalam kedua bola mataku.
Ketahuilah, saat ini aku bagai di tengah gurun salju. Kembali kukatakan bahwa tangis kerinduan ini begitu dalam dan menusuk tulang-tulang dadaku. Bahkan jantungku pun rasanya sudah ingin berhenti berdetak. Dia hanya ingin cinta yang mengisi ruang-ruangnya. Segala macam kenangan bagai butiran-butiran yang terus saja berjatuhan di atas kepalaku.
Sambil terus merasakan sakitnya menggigil dalam dingin kerinduan, aku terus memandangnya dari kejauhan. Aku tiada membencinya, memang tidak ada ruang yang tersedia untuk sebuah kebencian. Yang ada hanyalah pandangan cinta dan kasih sayang. Aku selalu tersenyum sekalipun pedih yang terasa. Setidaknya aku tersenyum untuk canda tawanya.
Tiada peduli bagaimanakah dia saat ini menyiksa dengan seluruh perilakunya. Yang aku pedulikan hanyalah cinta yang tetap terjaga kemurnian dan kesuciannya. Iya, dialah cinta yang sejak lama mendiami relung dalam jiwa ini. Dialah kekuatan yang begitu berharga untuk setiap langkah. Tidak ada noda yang sanggup menutupinya barang setitik, karena cinta ini seputih salju.