Kupersembahkan Blog Ini Untuk Orang Yang Pernah Mendiami Relung Terdalam di Hatiku, "BINTANG"

Pages

Everything here is about you, my lovely star,

I'm sure that one day you will read this blog and give smile for this.

My love, here I am with all my feelings,

I hope the breath of your love always blow even just through the wind

My lovely breath,

Recesses of my heart always decorate by your beautifull face

My angel,

Fly here with the whole of your long vibration

My dear,

I love you.

Jumat, 16 Maret 2012

Hanya Ruh Cintamu



Bintangku..

Jika badai sanggup meruntuhkan beringin yang tengah menjulang..
Maka cinta mampu menerjang dinding pembatas di hatiku..

Jika gelombang pasang sanggup menghancurkan karang..
Maka rindu telah meremukkan seluruh isi dalam dadaku..

Jika gempa telah merobohkan bangunan-bangunan kokoh..
Maka kenanganlah yang sebenarnya membuatku tersungkur..

Cintaku,,
Aku tak tahu di mana kamu sekarang,,

Sayangku,,
Aku tidak tahu bagaimana wujudmu sekarang,,

Kekasihku,,
Aku tidak pernah lagi merasakan kehangatan di dekatmu,,

Pujaan hatiku,,
Bahkan aku tak pernah tahu bagaimana suaramu bergetar merdu..

Duhai Bintangku,,
Ketahuilah bahwa aku masih merasakan wangi aroma cintamu..

Aku masih merasakan keberadaanmu,,
Masih masih dan masih..

Telah kurelakan seluruh luka ini sebagai persembahan,,
Biarlah duri-duri ini tetap menusuk..

Aku rela,,
Kau memang jauh entah di mana..

Mungkin ragamu untuk yang lain..
Namun ruh cintamu akan selalu ada di haiku..

Hanya Ruh Cintamu..

Kamis, 15 Maret 2012

Bilal Jumat Jatuh Cinta

Cerita saat kami belum bersama.

Siang itu, kira-kira pukul 11.00 siang. Seperti biasa, setiap hari Jumat seluruh siswa SMPN 5 Malang harus Shalat Jumat di Mushalla. Mushalla cukup kecil, sehingga siswi dan ibu-ibu guru bertempat di luar. Suara riuh berpindah terfokus pada Mushalla dan Aula yang berdempetan. Begitulah anak-anak SMP jika sudah bersama teman pasti ribut.

Aku adalah mu'adzin Jumat tetap di Mushalla itu. Dua kali menjadi mu'adzin terbaik se-Kota Malang tingkat SMP membuat guru-guru memberikan amanah di Mushalla tersebut. Hal itu cukup memberikan ketenaran padaku, di sisi lain aku tenar sebagai ketua gerombolan. Di sekolah kan pasti ada kelompok-kelompok (Baca : Geng).

Di luar sana cuaca tampak benar-benar terik. Terlihat dari jendela yang terbuat dari kaca bening, sebening kedua bola mata orang yang saat itu menghiasi istana cintaku. Waktu sudah menunjukkan masuknya dhuhur. Aku mengumandangkan adzan pertama, biasanya lagu muammar (Melayu) dg nada hingga jawwabul jawwab. Kemudian shalat sunnah sejenak.

Setelah itu aku menyampaikan hadist mengenai kewajiban mendengar Khotib yang sedang berkhutbah. Yang seperti ini disebut bilal. Bilal pasti menghadap ke jamaah. Sambil terus berkumandang dg suara Hijaz (Lagu bahagia), aku memandangi setiap sudut di depanku. Aku seperti melihat mutiara-mutiara yang sedang bersinar di depanku.

Ada dua hal yang biasa kucari saat memandang. Ma'lumlah, anak SMP meskipun jadi bilal ya pikirannya ke mana-mana. Yang pertama Pak Gum, seorang guru tata tertib yang paling menakutkan. Yang kedua adalah seorang bidadari yang sejak beberapa bulan lalu menjadi sorotan dalam panggung asmaraku.

Adalah Bintang yang beberapa waktu ini juga sering berada tepat di depan pintu mushalla sebelah belakang. Aku tak kesulitan mencarinya, cahaya wajahnya selalu membuatku terpana untuk mendapatkan kesegarannya.  Sekalipun ia terletak di antara kerumunan banyak siswi lain, aku juga tak kesulitan mendapatkannya. Cintanya yang begiru wangi akan menuntun seluruh inderaku untuk menemukannya.

Aku melihatnya berbisik dengan teman akrabnya. Mungkin sedang membicarakanku. Membuat jantungku berdegup semakin kencang. Sepertinya panah cinta yang telah menancap tepat di tengah hatiku, kembali terpahat untuk semakin dalam masuk. Mata panah itu semakin menyebarkan racun kerinduan ke dalam seluruh aliran darahku.

Setelah Shalat Jumat selesai, aku cepat-cepat keluar ikut merapikan karper di aula, agar bisa melihatnya dari kejauhan. Jika kebetulan saling menatap, aku hanya tersenyum sambil mengangguk tanda penghormatan untuk malaikat yang sepertinya turun dari langit. Jika ia tak sedang menatapku, aku melihatnya dari atas sampai ke bawah.

Kenapa Tuhan begitu hebatnya menciptakan makhluk cantik ini. Begitu mempesona dan menumbuhkan getar-getar kasih pada setiap kulit ariku. Aku telah semakin jatuh cinta kepadanya. Waktu itu begitu kuingat. Hingga aku pulang dan menunggunya keluar dari gerbang. Biasanya akun mengamati di Halte seberang sekolah. Jika ia sudah pulang, aku pun pulang. Sambil berdoa semoga dia menjadi milikku.

Rabu, 14 Maret 2012

Air Mata Siapa Tak Akan Terjatuh?

Pagi ini, angin begitu liarnya menerpa setiap helai daun, begitu pulalah badai rindu mengikis seluruh atmosfir yang melindungi hatiku dari kegundahan. Segenggam debu bertebaran ke seluruh arah terpisah tiada saling bertemu, begitu pula cinta yang selama ini kami genggam terburai tiada bersatu kembali barang setitik pun. Dedaunan kering saling berjatuhan seiring dengan kuatnya suara gesekan antar ranting yang terkena badai ringan ini, seperti itulah air mata bercucuran dengan kuatnya seiring dengan terjalnya jalan yang harus kulewati.

Aku tak sedang bersandiwara, aku tak sedang mengarang dan aku tak sedang membual. Aku tidak sekadar menulis, aku tidak sekadar menekan tombol-tombol yang berjajar di dalam keyboardku dan aku tak sekadar memandangi layar di depanku. Lebih dari itu, aku ingin menyalurkan seluruh buih rindu yang selalu saja membuat ngilu seluruh persendianku ke dalam sebuah barisan huruf indah. Seindah wajahnya kala mengucap cinta padaku dulu.

Tersebutlah Bintang sebagai nama indahnya yang selalu terbesit bayangnya dalam genangan mata air pada sebuah oase di dalam rinduku. Segenap kasih dan rintihan selalu bergema di dalamnya. Begitulah Bintang bak kemilau berlian yang menyilaukan setiap memata yang memandang kemudian menarik hati untuk menggenggam erat sinar cantiknya. Aduhai keluhnya lidahku untuk menyebut nama ini hingga aku hanya mampu menulisnya tanpa sanggup menggetarkan udara di sekitarku untuk membentuk aksara eloknya.

Sungguh cinta begitu tiada pandangnya menyiksa seluruh kulit, daging, tulang, syaraf dan seluruh organ di dalam tubuhku. Jika mereka sanggup berkata niscaya merekalah yang akan saling berteriak memohon untuk dikembalikan kepada masa 3 tahun yang lalu. Saat mereka teraliri nutrisi-nutrisi kasih sayang. Kemudian mereka saling bekerja untuk menciptakan surga di antara aku dan Bintang. Surga itu tiada kutemui kembali, karena mata air di dalamnya telah berhenti mengalir. Seluruh tumbuhan dan onta-onta telah mati. Hanya tinggal gurun yang begitu gersang.

Gersang sekali hingga setiap yang memandangnya akan ikut merasakan kehausan yang sangat. Begitulah air mata telah hampir kering yang biasa membasahi pipi yang dulu terbelai mesra lentik jari manisnya. Kelopak mataku mulai kering, korneanya begitu merah karena lelah, di sisi mataku tampak menghitam, dia jarang tertidur karena rindu selalu melarangnya untuk beristirahat. Suara pun telah semakin tidak jelas aksaranya ketika mengucap karena seluruh aksara telah habis untuk menyebutkan seluruh kisah di antara kai.

Siapalah tidak menetes air matanya jika mengetahui permata yang biasa disimpan kemudian dikanakan dan disentuh mesra oleh orang lain? Air mata siapa sanggup terbendung di antara cinta yang tersakiti? Suara siapa tiada berteriak sakit jika sang kekasih memberikan cintanya pada yang lain? Kekuatan siapa mampu menegakkan tulang punggung yang sakit menahan sakit yang begitu sangat? Tangan siapa mampu terus memegangi hati saat perih melanda?

Aku tiada mengungkapnya dalam lisanku, sekali lagi karena aku sudah kehilangan segala suaraku untuk sekedar mengumandangkan kidung-kidung berandakan sika. Aku hanya mampu membayangkan suara-suara indah yang pernah ada. Aku hanya mampu memandang tanpa jelas apa yang sebenarnya kupandang. Dan aku hanya mampu menulis tanpa berkomentar apa yang akan orang katakan. Di hatiku hanya da namanya yang terus saja mendorongku untuk terus menorehkan tinta di atas kanvas putih.

Selalu menahan sakit, beginilah keseharianku. Betapa cintalah yang membuatku begini, rasa sakitnya begitu pekat hingga aku tak mampu mencarikannya dengan unsur apa pun. Rasa perihnya begitu menyayat sedang aku tak menemukan satu kasa pun untuk membalutnya. Sakit yang begitu hebatnya selalu menerjang tulang dadaku untuk kemudian menusuk rongga di jantungku, membocorkan seluruh darahku, menghentika aliran darah dalam setiap pembuluh hingga membuatku kesulitan untuk bernafas. Dan aku sangat membutuhkan nafasnya untuk sekadar membuka mataku yang kian sayu. Karena aku begitu mencintai ruh cinta kekasihku.

Suatu Malam Aku Bermimpi

Lembahyung malam tampak menutupi segenap cahaya kemilauan berwarna jingga. Hangatnya senja terganti tiupan dingin sang bayu. Aku tak menyangka malam itu aku akan terlelap dalam kesendirian. Aku tak pernah mengira bahwa malam itu akan terlewati dengan genangan air mata. Dan aku tiada menduga bahwa malam itu akan terhiasi suara parau tangis kehilangan.

Mungkin kehilangan untuk selamanya. Aku harus berteriak dengan sekuat-kuatnya suaraku. Ketika sudah tak mampu lagi, hatikulah yang terus meronta hingga seolah ada batu besar menerobos ruang-ruang jantungku yang hanya terdiri dari dua bilik dan dan dua serambi, sedang batu itu sebesar gunung. Apalah daya fisikku yang kecil untuk menahan beban sebesar itu.

Iya, malam itu aku harus benar-benar sendiri. Dingin sekali, namun tak sedingin yang menusuk hingga ke tulang-tulang dadaku. Setebal apa pun selimut yang kukenakan, dia tak mampu menahan barang sedikit pun angin rindu yang kian merangsek merampas segala ketenanganku. Sekali lagi aku tak pernah menduga bahwa aku akan kehilangan kekasihku yang paling kuagungkan.

Tampaknya aku kelelahan menahan sakit yang menghujam syaraf-syaraf dalam setiap jaringan tubuhku, hingga aku terlelap dalam sebuah ombak badai di malam itu. Aduhai Tuhanku, aku melihat kekasihku berbaju putih. Dia tersenyum manis, pipinya terangkat dan matanya menyipit. Cantik sekai, namun tampak pucat dan bibirnya kering. Melambaikan tangan dengan berkata pelan.

"Walaupun raga kita jauh, aku tetap di hatimu. Yang pergi darimu bukanlah aku. Karena aku telah benar-benar mengabdikan cintaku padamu. Aku masih kekasihmu, jika kau merindukanku, maafkan aku hanya bisa memberi warna dalam cintamu. Pandangilah aku dengan cintamu dan jangan pernah membenciku. Aku sedang terjebak dalam emosiku. Sungguh aku sangat mencintaimu. Tetapi nafsuku menuntut untuk mencintai yang lain. Sayangku, itu bukan aku. Aku selalu di hatimu. Sebutlah namaku jika kau sakit, jika kau haus, jika kau lapar. Aku akan merawatmu, menyuapimu dan menemanimu dengan segenap bayangku. Selamat tinggal kasihku, semoga ruh cintaku akan menemuimu kelak di sana. Karena nafsu telah menguasai seluruh ragaku. Biarlah tubuhku bersama yang lain asal cinta selalu utuh untukmu. Selamat tinggal cinta pertamaku, aku benar-benar mencintaimu.."

Begitulah dia berbicara seraya terisak jua. Aku terbangun oleh suara Qiro'ah Syeikh Muammar yang kian menambah pedih hatiku dengan lagu shoba yang masih terdengar sampai aku benar-benar bangun dan mengusap air mataku yang tiada keringnya. Mungkin mimpi ini benar, karena hingga saat ini aku terus saja merasakan getar hangat cintanya. Masih saja mencium wangi keringatnya, masih saja mendengar suara indahnya.

Jika aku lapar, aku menyebut namanya. Jika aku haus, aku menyebut namanya. Jika aku sedih aku mengadu padanya. Jika aku sakit aku selalu mengingatnya. Sekalipun dia tiada. Biarlah halus ruh cintanya yang selalu menyertai seluruh kesadaranku. Biarlah biar dia tiada lagi, asal cinta selalu mewarnai hati ini. Aku tiada pernah membencinya. Biarlah bahagia dia bersamanya. Dan aku bahagia bersama ruh cinta kekasihku.

Senin, 12 Maret 2012

Hangatnya Sore di Terusan Kesatrian

Hari yang cukup cerah dengan angin yang bertiup menerbangkan debu-debu yang menutupi bayangan kami. Semakin beterbangan ke segala arah, demikianlah debu tiada arah. Sedangkan kami memiliki arah, dialah kebahagiaan yang menjadi tujuan kami. Sebuah cinta tiada lengkap tanpa kebersamaan sejati. Begitulah asa dalam bumbungan gelora cinta kami.

Dialah kekasihku yang indah seri-seri di pipinya, yang sore itu mampu membuatku terus tertawa bahagia di antara segenap derita. Maafkan aku Bintang, kembali kusebut namamu. Bukan sekedar menyebut, karena cintalah yang sebenarnya memberikan kekuatan kepada pita suaraku untuk terus menggetarkan udara dengan aksen huruf-huruf indah yang membentuk namamu. 

Baru saja dari sebuah warung di daerah Hamid Rusdi, cukup menarik dengan segenap ornamen tradisional. Seperti biasa, setiap bertemu selalu menyempatkan untuk singgah pada suatu tempat untuk sekedar menyirami haus dahaga yang mencipta kekeringan pada hamparan rindu. Kembalilah Bintang yang selalu menemaniku saat itu. Sebuah simbol cinta tiada tara.

Dialah pujaan hatiku, yang selalu kusuarakan dalam setiap irama detak jantung dan helaan nafasku. Bahkan dialah nafasku hingga ia harus benar-benar lenyap dari dimensi ruang-ruang cinta dalam hatiku. Seorang gadis belia yang telah membius seluruh kesadaranku untuk kemudian menjadi lupa segalanya dan menghipnotis akal pikiranku untuk terus menyebut namanya.

Dengan seragam yang putih, seputih rasa yang menyatukan kedua hati kami dengan segala warnanya, Dia menggenggam erat cinta ini dalam sebuah kesejukan rasa. Oh duhai siapa yang tak bahagia memiliki kekasih seindah dia. Akulah pemuda dengan seluruh keberuntungan, mungkin dewi keberuntungan sedang bersamaki.

Sore itu benar-benar sebuah kehangatan yang cukup untuk seekor lebah yang merindukan sari-sari madu pada bunga melati nan putih berseri. Akulah sang lelaki yang saat itu begitu menikmati belaian hangat sinar mentari. Demikian pulalah kehangatan di dekatku, seorang gadis yang indah kedua bola matanya terus saja membunyikan lonceng-lonceng kebahagiaan.

Aku tak sedang bersedih mengenangnya. Hari ini aku bahagia bisa mengenang dan mencintainya tanpa setetes air mata pun. Tanpa seberkas getaran suara jeritan pun. Aku semakin mencintainya yang entah di mana sekarang dia. Aku merasa bahwa ia tiada lagi di dunia ini.

Terusan Kesatrian, sebuah jalan di dekat Bunul, saksi terdiam atas cinta kami. Sebuah bentangan jalan berderbu dengan perumahan hijau di sekelilingnya. Hijau menyegarkan bagai cinta yang menyejukkan hati kami saat itu. Duhai jalan yang tiada mendua, saksikanlah seluruh cinta ini telah kutorehkan pada sebuah kertas putih hingga ia usang.

Dan aku pun semakin mencintainya..

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More