Kupersembahkan Blog Ini Untuk Orang Yang Pernah Mendiami Relung Terdalam di Hatiku, "BINTANG"

Pages

Everything here is about you, my lovely star,

I'm sure that one day you will read this blog and give smile for this.

My love, here I am with all my feelings,

I hope the breath of your love always blow even just through the wind

My lovely breath,

Recesses of my heart always decorate by your beautifull face

My angel,

Fly here with the whole of your long vibration

My dear,

I love you.

Senin, 30 Januari 2012

Merindukanmu



Aku
Merindukanmu
Aku merindukanmu
Benar sangat merindukanmu
Setiap hari semakin merindukanmu 
Semakin hari semakin kumerindukanmu
Kian jauh jarak kita kian kumerindukanmu
Kekasih hatiku, sangat kumerindukanmu
Sungguh sangat merindukanmu
Jujur ku sangat merindukanmu
Karena aku merindukanmu
 
Aku merindukanmu
Merindukanmu 
Sayang 
Ku
 

Minggu, 29 Januari 2012

Sajak Semalam

Semalam pujaan hatiku mengirimkan sebuah pesan ucapan terimakasih. Entah untuk apa. Aku selalu berusaha untuk tak berpuisi dan bersajak di depannya. Tapi memang setiap untaian kata yang mengalir dari tangan dan lisanku selalu saja berbentuk sya'ir. Aku terlanjur mengalunkannya untuk kekasih hatiku.

Bidadariku, banyak yang ingin kubicarakan sebenarnya.
Tapi lidahku sudah keluh.
Tanganku sudah lelah.
Hatiku sudah mati.
Otakku sudah bebasl.
Kakiku sudah pincang.
Aku tidak pernah tahu.
Sebenarnya sakit apa aku ini.
Yang aku tahu hanya engkau penawarnya.

Aku tak berharap sakit ini harus ditawarkan.
Biarlah demam menghapus dosa.
Aku tak pernah berharap semua luka terbalut.
Karena kasa seluas bentangan langit dan bumi tak akan pernah cukup.
Aku tidak terlalu berharap kamu kembali.
Bukankah cintamu setiap detik selalu menaungi panasku?
Bukan dihargai dan dianggap harapanku.
Karena kamulah yang begitu berharga di hatiku.
Aku tidak berharap engkau kembali mencintaiku.
Karena sayangmu sudah jauh melekat sejak sebelum kita saling mengenal.
Aku bisa mencintaimu dengan segala kebodohan dan kegilaanku.
Yang orang lain tiada mampu.
Aku bisa melayang.
Hanya dengan mengingat pita merah muda yang menghias ujung jilbabmu.
Aku bisa tertawa dan menangis.
Hanya dengan menatap langit, kemudian kulukis wajahmu saat aku sendiri.

Sebungkus Coklat di Sudut Lapangan Danau Bratan Timur

Detik saat kutulis ceritaku untuk yang kesekian kalinya ini, gerak jemari tanganku seolah saling berirama diringi tetesan-tetesan air mata yang kian lama kian derasnya. Semakin kutahan untuk tak terisak, semakin pula hujan turun dengan kuatnya. Aku tidak pernah tahu di mana ada selembar tissue yang sanggup menyerap habis seluruh bulir-bulir air mata ini. Dan aku tidak pernah tahu kenapa ini semua harus selalu terjadi. Aku adalah lelaki. Iya, aku adalah lelaki. Tetapi kenapa hatiku begitu rapuh?

"Tidak, kamu tidak rapuh nak !!!, itulah cinta sejati yang telah menghiasi seluruh syaraf dan aliran darahmu, Tuhan membuatmu tidak pernah merasakan kasih sayang ibu, kemudian Dia mengirim bidadari cantik dan kembali menariknya dalam waktu yang cukup untuk meluluhkan keras hatimu" Kata seorang guru hakiki. Aku pun lemas, sekalipun lidahku telah diam, namun hatiku terus saja bergejolak. Semakin dan semakin saja.

Kawanku maaf, saat ini aku benar-benar tak mampu menahan air mataku lagi. Pujaan hatiku baru saja mengirim pesan singkat. "Terimakasih untuk semuanya", itu isi smsnya. Aku tak mampu berkata-kata, senang memang dia masih berusaha menjalin silaturahim ini. Tetapi setiap kata yang datang darinya seolah menjadi penderas hujan air mata. Kadang aku sampai tak sadarkan diri untuk  untuk hal ini. Begitu dalam luka ini untuk dibalut hanya dengan kasa-kasa tipis. Begitu banyak cabikan-cabikan yang melukiskan luka di dalam sanubari lemah ini.

Baiklah, aku ingin memulai bercerita kembali. Biarlah aku tak peduli dengan sesenggukan ini. Suatu hari, waktu itu pukul 14.00 siang. Mungkin hari Kamis, Dia memakai seragam abu-abu putih, begitu cantiknya, mungkin jika ada mesin waktu yang bisa mengembalikanku ke masa itu, aku tidak akan pernah bersedia kembali ke masa saat ini sekalipun secara finansial dan materi sangat berlebih. Kemeja putihnya sedikit kusam, namun wajahnya begitu memancarkan cahaya. Warna dasinya sudah sedikit memudar, tapi tatapan indah kedua bola matanya masih bersinar tajam. Keringatnya menyembul di sudut-sudut wajahnya dan terlihat membasahi lipatan-lipatan kemejanya, namun mata air cinta telah membasahi hatinya hingga selalu menyegarkan tenggorokanku yang sangat haus kasih sayang.

Kecantikannya telah menghipnotis seluruh kesadaranku, hingga hanya wajahnya yang ada di hamparan luas rumput-rumput yang tumbuh bagai permadani hijau. Siang itu, seperti hari-hari sebelumnya, dia berlatih mengendarai motor bersamaku. Berputar-putar lapangan, aku di belakangnya mengontrol. Berputar dan terus berputar, seperti suara-suara cinta yang bergulung-gulung membuat tubuh berguncang hebat. Waktu sudah sedikit sore, semayup adzan pak tua terdengar dari ujung barat daya. Mungkin dari Masjid Manarul Islam, atau lainnya yang aku lupa namanya.


Matahari berubah panasnya menjadi kehangatan, sinarnya berubah menjadi kelembutan, angin bertiup menggugurkan daun-daun kering. Bak musim semi yang semakin mewarnai berseminya cinta di antara kami berdua. Kami menepi mendekati sebuah pohon di pojok barat. Istirahat sejenak untuk saling memandang. Kami saling meyakinkan bahwa di mata kami hanya ada cinta yang mengalir di antara aku dan dia. Kemudian, sesuai janjiku tadi, "Kalau sayang bisa muter-muter lancar, nanti kubelikan coklat !!!"


Hari ini masih belum lancar. Tetapi aku ingin bunga-bunga kebahagiaan bermekaran dalam dinding-dinding hati terdalamnya. Kemudian semerbak mewangi dan membuatku melayang bersama cintanya. Kami ke sebuah toko di seberang barat lapangan. Aku sudah lupa nama tokonya, yang jelas di toko itu terdapat papan bertuliskan "Pasifik Laundry". Kubelikan sebungkus coklat dan segelas air mineral. Dia senang sekali sambil berkata "Horeeeee...". Aku menangis bahagia kala mendengar kalimat manja itu. Aku tak pernah merasakan keindahan ini sebelumnya.

Kemudian aku menungguinya makan coklat dan minum. Sekali waktu, aku merasa dia adalah pengganti ibuku. Tapi kali ini aku bagaikan memiliki adik perempuan. Bahagia sekali melihat dia senyum sambil mengernyitkan kelopak matanya. Rona kesejukan tampak terlukis di pipinya. Jl. Danau Bratan Timur, begitulah sebuah papan berdiri dengan tulisan ini. Di sebuah lapangan yang selamanya akan kukenang. Dan lapangan ini akan menjadi saksi bagaimana aku sangat mencintainya.

Mungkin bahasa dan penulisan serta pilihan kataku kali ini sedikit kacau, aku tak sanggup mencari kata yang lebih indah. Karena seluruh keindahan telah hanyut bersama air mata yang mengalir. Entah di mana muaranya aku tak tahu. Yang aku tahu hanya dirinya. Iya, dirinya yang begitu kucintai.

Kamis, 26 Januari 2012

Siang Ini Aku Cemburu

Begitu terik, angin menerpa dengan kuatnya. Fatamorgana terlukis bagai bunga mimosa yang menari di sela sejuk musim semi. Debu-debu beterbangan tanpa arah yang jelas, seperti ketika perasaanku hancur tertiup kebencian. Sebenarnya aku tak pernah membenci, hanya saja kenyataan cinta melukaiku. Daun-daun pohon buah nona saling bergesek menambah suasana panas semakin berdesakan menempa jantung yang berdegub melemah.

Angin hari ini begitu kerasnya, sampai-sampai mataku tak mampu memandang ke depan dengan leluasa. Namun lebih dari itu, perih dalam jiwaku bahkan sampai membatasi kata-kata dalam hatiku. Untuk sekedar memahami arti angin itu sendiri pun dia tak mampu. Begitu pula dengan pancaran sinar matahari kali ini yang begitu menyengat, karena akibat badai matahari yang mulai mendobrak atmosfir bumi sejak beberapa hari yang lalu, ia begitu ganas menumbangkan pepohonan. Melebihi dari itu, hatiku saat ini terbakar ribuan kali lebih panas. Bahkan badai cemburu ini seakan mampu menumbangkan kekuatanku sebagai seorang kesatria yang dengan kedua kakiku mampu berlarian di gurun sahara tanpa selembar alas kaki pun. Saat ini seluruh bagian tubuhku menjadi layu seperti seorang darwis hendak menjemput kematiannya.

Iya, aku sedang cemburu. Mungkin burung-burung kecil yang saat ini bersaut-sautan di dalam sarang sedang menyanyikan lagu duka cita yang dalam untukku. Sebuah pohon nagasari yang menjulang tinggi di antara juluran-juluran tali cahaya malam, dialah tempat sang burung mengintip di balik daun-daun hijau tua, mungkin mengintip induknya yang belum kembali. Tetapi pandangannya tertuju pada linangan air mata di pipi dan sisi bibirku. Memandangnya, aku merasa ditanya "Gerangan apakah tuan tersedu berduka?"

Ketahuilah kawan, aku sedang tersiksa oleh cemburu yang begitu berkobar-kobar untuk segera menghabisi tunas-tunas kerinduan yang kian hari kian bertumbuhan. Baru saja aku melihat sosok wanita yang begitu mirip wajahnya dengan pujaan tertinggi istana cintaku. Giginya, jilbabnya, keningnya, punggungnya, bahkan senyumnya. Seorang lelaki sedang memakaikan penutup kepala di depannya. Kepalaku bagaikan dipenuhi dengan batu-batu yang telah dipecah, yang sisi-sisinya telah menjadi sangat tajam. Kemudian batu-batu itu terus bertambah jumlahnya, lalu dia berusaha untuk menembus tulang tengkorak dan kulit pembungkus kepalaku.

Aku tahu bahwa itu bukan Bintangku, tetapi kebutaanku terhadap segala sesuatu telah menyulut api cemburu di dalam rongga dadaku. Api itu menembus bahkan sampai kulit dadaku hingga hitam bagai arang tersiram minyak jarak. Benar-benar sakit. Mungkin kau akan mengatakan bahwa aku gila. Iya benar, dialah cinta yang telah jauh merangsek merebut segala kerinduanku dan kini ia telah semakin membumbung tinggi untuk memusnahkan segala asa selain makna cinta itu sendiri. Dialah rasa yang kian hari kian menyayat-nyayat sebongkah hati yang sudah membiru. Aku memang sedang gila, namun gilaku jauh di atas singgahsana sang pangeran cinta yang berulang kali melejitkan anak panahnya ke arah timur. Berharap sang putri mengambilkan anak panah itu kemudian meletakkannya pada sebuah bejana berhiaskan zamrud kepada sang pangeran.

Duhai Tuhanku, aku tak pernah tahu kapan aku akan sembuh dari ketidak sadaranku. Bahkan aku sudah menganggap apa yang baru saja kulihat hanyalah sebuah bayangan atau tidak lebih seorang Qorin. Namun kerinduan yang sangat semakin mengobarkan api cemburu ini. Aku tidak pernah tahu harus pergi ke mana untuk mengadu. Tuhanku, kumohon siramlah api ini dengan air mata dari telaga kautsar, gantikan debu-debu usang menjadi penyubur ketenangan batinku yang sudah luas tumbuh. Yang hampir saja menutup kegersangan ini. Tuhanku, saksikanlah bahwa seluruh kerinduanku masih berdiri kokoh menghadap bayangnya. Tuhanku, aku mencintainya.

Jumat, 20 Januari 2012

Baju Ungu dan Sebuah Es Krim

Aku menunggunya di sebuah sudut jalan yang cukup ramai. Pertigaan Madyopuro, itulah namanya dikenal. Di tepi taman di tengah jalan aku berhenti. Kaki kananku menyentuh aspal, sedang kaki kiri menginjak rem. Sambil melihat spion motor smash biruku. Kulihat ada jerawat di antara kedua alisku. Sedikit terganggu, aku takut pujaan hatiku malu kekasihnya berjerawat. "Ah mungkin ini jerawat yang timbul akibat keseringan nglamunin Bintang" Bantah hatiku untuk sedikit menenangnkan. 

Kuraba helmku, helm INK hitam yang ukurannya lumayan terlalu besar untuk kepalaku yang relatif kecil. Ada goresan pada bagian helmku. Kacanya jg sedikit kurang rapat. Aku pernah membantingnya di depan kekasihku. Aku telah lupa kenapa. Tapi itu ekspresiku untuk meminta perhatian.  Waktu itu matanya berkaca-kaca. Mungkin karena ketakutan aku marah. Saat ini pun mataku berlinang air mata. Bulir-bulirnya membasahi pelipis saat aku memungut kertas yang tergeletak di dekatku. Aku menyesal.

Saat kecil aku selalu dibentak, kurang perhatian secara hati ke hati. Akhirnya aku suka mencari perhatian dengan membanting dan membuang sesuatu. Kebiasaan ini terbawa sampai seorang gadis belia menyentuh hatiku yang terlanjur membatu. Dialah Bintang, kecantikannya mampu membuatku terbius dan melupakan segala lara. Lembut tutur katanya melunakkan amarahku. Namun saat itu aku tidak tahu setan apa yang telah menyusup di antara ruang-ruang hatiku. Aku tidak pernah seperti itu sebelumnya. Jangankan membanting helm, dia menatap saja aku tak kuasa membalas tatapannya.

Kembali pada topik, 5 menit aku menunggu. Tiba-tiba terik mentari berubah sejuk. Kulit leherku terasa tersiram air dari pegunungan. Udara tiba-tiba bertiup lembut di sela rambutku yang menyembul di bawah helm. Keringatku terasa seperti air yang meresap ke baju sesaat setelah mandi. Rupanya bidadari manis telah menyihir segala keresahanku menjadi sebuah lukisan pelangi dan senyum indah di buku kehidupanku hari ini. Bajunya ungu, begitu pula dengan jilbabnya. 

Lambaian tangannya terlihat sedikit buram akibat lalu lalang kendaraan. Cukup ramai memang jika masih siang begitu. Di tambah beberapa angkutan warna biru yang berjajar di tepi jalan membuat sedikit macet. Suara sopir dan makelar angkutan bersaut-sautan mencari penumpang. Sesekali knalpot motor khas anak muda membuat suasana semakin bising. Beberapa saat kemudian pemilik hatiku telah mendekat pada motorku. Tanpa menunggu lama dia langsung naik di belakangku. Seperti sudah hafal, tanpa malu dan canggung dia berkata "Sudah Mas.." Dari spion aku melihat senyumnya menghias wajahnya yang begitu mempesona.

Perjalanan dimulai. Aku lupa saat itu tujuan kami ke mana. Yang jelas di sebuah jalan di daerah sawojajar kami berhenti untuk waktu yang cukup lama. Di atas motor kami menikmati es krim berdua. Es krim coklat, ni'mat sekali. Makanan coklat saja paling saya sukai, ini ditambah berdua dengan kekasih saya. Jangankan es krim, air putih bekas diminum orang saja saya tidak mau. Ini malah bekas dijilat orang saya makan. Tetapi begitulah cinta membungkus semuanya menjadi begitu menawan. Siang itu kami nikmati di tepi jalan, di bawah sebuah pohon yang tidak seberapa rindang. Namun awan cinta cukup untuk menahan terik di antara dedaunan yang berguguran. Baju ungu dan es krim itu tidak akan pernah kulupakan.

Perpecahan

Saya teringat dengan perkataan salah seorang teman. Dia adalah teman yang cukup dekat dengan saya. Kebetulan kami tergabung dalam komunitas Indigo di sekolah. Kami selalu bekerja sama dan saling membantu untuk hal-hal tertentu. Khususnya dalam masalah yang tidak rasional dan sulit dinalar. Berbekal kelebihan kami masing-masing. Kebetulan penglihatan mata lahir teman saya tersebut lebih waskita dari saya. Sedangkan saya kebetulan memiliki basic penyembuhan dan penglihatan mata batin.

Suatu ketika dia mengatakan bahwa dalam mimpinya saya jatuh ke dalam jurang akibat melihat sosok wanita cantik berbaju merah. Saya sempat menceritakan mimpi teman saya pada kekasih. Kekasih saya meyakinkan "Sudahlah sayang, tidak akan terjadi apa-apa di antara kita". Saya pun tersenyum dan kembali yakin. Hari demi hari saya lewati dengan sedikit kecemasan. Saya tidak ingin berpisah dengan kekasih saya walaupun hanya sekejap mata. Dia terlanjur memberikan nafas kehidupan untuk paru-paru rindu yang saya miliki. Dia telah memberikan kekuatan untuk jantung saya terus berdegup. Dia adalah segalanya. Iya, segalanya.

Benih-benih kehancuran telah saya rasakan. Pelangi yang selama ini menghiasi taman-taman cinta kami perlahan memudar. Sinar cintanya kian meredup. Kehangatan kasih sayangnya tiba-tiba menyengat bagaikan matahari saat siang hari di tengah padang gurun. Sangat terik. Semilir angin yang berhembus saat saya terlelap di sampingnya berubah menjadi badai yang menghantam relung-relung halus di hati saya. Ucapan lembutnya semakin sirna tergantikan oleh sambaran-sambaran pedas. Tiada lagi keharmonisan.

Seorang gadis adik kelas saya yang menjadi pemicu. Walaupun bukan pemicu satu-satunya. Karena di pihak kekasih saya pun sama, ada yang lain. Namun saya tidak akan membahasnya. Biarlah, seolah-olah ini memang sepenuhnya salah saya. Entah terbius oleh racun apa saya. Entah terhipnotis oleh sihir tingkat apa saya waktu itu. Dengan mudahnya saya takhluk terhadap gadis itu. Saya harus melalikan kekasih yang selama ini menjadi tempat meletakkan kebahagiaan dan sakit. Bukan hanya kekasih yang akhirnya pergi, bahkan saya harus terlibat permusuhan dengan guru Fiqh saya akibat gadis ini.

Seperti teradu domba tanpa sadar. Bahkan saya pernah terkena santet akibat masalah ini. Beruntung saya sedikit paham mengenai berbagai macam sihir dan penangkalnya. Akhirnya saya tidak sampai parah terkena, bahkan pengirim saya buat masuk rumah sakit atas izin Allah. Tapi bukan ini fokus cerita saya. Karena mungkin di antara pembaca ada yang kurang atau bahkan tidak yakin dengan hal seperti ini.

Sekali lagi, bahwa saat itu saya seperti ada dalam perangkap. Tanpa sadar, setelah sekian lama saya berpisah dengan kekasih akhirnya saya sadar. Saya bangkit dan berusaha meninggalkan gadis itu. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk memtuskan hubungan dengan dia. Saya tidak peduli dia keluarga kiyai atau apalah. Yang jelas setelah berjalan lama dan hasil analisa saya, ternyata dia termasuk salah satu anak indigo dengan kelainan mental. Tetapi dia memiliki kemampuan alami untuk mempengaruhi dan menakhlukkan orang, khususnya lawan jenisnya.

Beruntung saya pernah dibekali ilmu kepekaan hati oleh salah seorang guru. Beruntung pula saya belum sempat ada ikatan apa pun denga gadis itu. Jadi bisa dikatakan bahwa sampai detik ini saya tetap sendiri setelah perpecahan itu. Sedangkan kekasih saya saat itu sudah menjalin ikatan dengan yang lain. Rupanya kesadaran saya benar-benar terlambat. Bahkan air mata darah saya pun tidak ada nilainya di mata kekasih yang selama ini saya bangga-banggakan.
 
Ini mungkin memang salah saya, sekalipun saya tidak sepenuhnya sadar. Semua sudah terlambat, tetapi keterlambatan saya tidak boleh berlarut. Memang ini sempat membuat saya terpuruk dan tersiksa. Bagaimana mungkin bisa, setelah terbangun dari tidur yang tidak terlalu panjang, tiba-tiba saya harus disuguhi pemandangan kemesraan kekasih saya dengan yang lain. Saya tahu jauh di lubuk hatinya masih tersemat nama saya. Hanya saja secara psikologis memang perempuan akan lebih mudah menambatkan hatinya pada laki-laki lain saat hatinya terluka. Saya tidak bisa menyalahkannya.

Sekitar dua setengah tahun ini saya lalui sendiri. Menahan luka yang sangat. Hampir setiap bulan sakit saya kambuh hanya karena stress memikirkan kekasih saya. Sangat ironis, padahal saya adalah ahli terapi air muda dengan ratusan pasien yang sembuh dari berbagai penyakit berat. Tidak ada yang mampu menghapuskan rindu yang tiada bertepi ini. Tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali menunggu keajaiban. Untuk sedikit meredakan menggigilnya hati saya karena kerinduan ini, saya hanya bisa menuangkan semuanya lewat cerita dan puisi. Setidaknya di sela sakit saya, masih ada yang bisa dihasilkan dan tidak sia-sia. Saya lebih memilih ini daripada harus menanggapi banyaknya gadis-gadis cantik yang berseliweran dalam kehidupan saya. Setidaknya ini bentuk penjagaan hati saya.

Kamis, 19 Januari 2012

Hujan Semakin Lebat

Siang itu langit begitu mendung. Sesekali sinar lembut mentari menerobos sela awan yang renggang. Membuat bayangan di sebelah timurku. Bayangan yang tak begitu hitam dan jelas. Berbeda dengan bayangan kekasihku yang selalu setia menemani langkah dan detak jantungku. Bayangan yang begitu hitam pekat, hingga aku kesulitan untuk mencari formula penghapusnya. Dia bukanlah noktah, sekali lagi hanya sebuah bayangan. Tak ubahnya bayangan lain, ia tidak pernah mambuatku tersandung. Dia hanya menjadi warna saat siang datang, kemudian terhapus oleh mendung hatiku, lalu terhapus hujan untuk sementara. Malamnya ia muncul di antara dingin hawa kegelapan. Namun kegelapan yang seringkali dihangatkan sang bulan, atau setidaknya sebuah lilin kecil. Maka dialah bayangan. Bagaimana mungkin Bintang yang dulu berkedipan untuk melukiskan senyumku, kini menjadi bayang-bayang yang aku sendiri sulit mengejar atau bahkan untuk sekedar berlari menjauh.

Hari itu, aku pulang sekolah lebih awal. Masih dengan seragam pramuka. Tidak seperti teman-teman sekelasku lainnya, yang biasa masih seru di kelas dengan berbagai kegiatan favoritnya, aku selalu menyegerakan diri pulang. Istirahat sejenak, siang itu cukup melelahkan dan membuat pening sisi-sisi kepalaku. Merebah badan sejenak kiranya cukup melepaskan lelah, setidaknya merilekskan pikiran yang begitu penat dengan segala aktivitas kelas akselerasi.  Volume dering HP kumaksimalkan. "Nanti kalau sudah waktunya pulang, sms ya cantik. Kalau aku belum bales, misscall aja, aku istirahat sebentar" Begitulah isim sms saya. Dia belum balas, akhirnya saya memejamkan mata.

Aku terbangun oleh nada sms yang berdering dari HP Nokia 1208 milikku. HP ini dulu dibelikan ayah. Aku memintanya khusus agar bisa berkomunikasi dengan kekasihku. Sebenarnya aku tak tega harus meminta ke ayah, tetapi cinta membuatakan hatiku. Ayah membelikannya untukku dengan syarat jangan pernah dijual. Suatu saat ternyata HP ini harus kujual untuk melupakan kekasihku di saat realitas harus memisahkan kami. Sepertinya aku menyakiti hati ayahku hanya karena kekasih. Aku tak punya daya apa pun selain melakukannya. Kembali pada cerita, "Mas, aku sudah pulang. Tak tunggu ya.." Isi sms yang kubaca.

"Iya,cantik.." Balasku. Cuci muka dan segera berangkat. Kutunggu dia di seberang gerbang. Hujan mulai rintik-rintik, dia belum juga keluar. Bahu dan punggungku sepertinya sudah sedikit basah. Dari kerumunan siswa SMA7 tampak ada cahaya menyembul keluar. Berseragam pramuka berlapskan jaket berwarna jingga. Begitu mempesona. Barisan rata giginya saat tertawa bercanda dengan temannya begitu indah. Padahal mataku minus, tapi karena cinta, gigi saja sampai terlihat. Kali ini cinta tidak membutakan mataku, tetapi justru membuat tajam penglihatanku.

"Maaf mas lama, tadi masih ditahan anak-anak.." Ucap lembutnya. Kemudian dia segera naik di belakang. Tangan kanannya memegang bajuku, sedang tangan kirinya memegang tasnya. Di tengah perjalanan kami selingi dengan perbincangan ringan. sesekali dia mencubit perutku ketika aku berbicara yang menjengkelkannya. Suasana itu mewarnai pelangi-pelangi cinta kami yang kadang pudar oleh jarak dan waktu. Kemudian menjadi bersinar kembali dan ni'mat untuk dipandang.

"Aku kangen mas.." Ucapnya lirih di sebelah kananku. Ucapan yang tidak mungkin pernah terlupa. Bahkan aku masih sangat ingat warna suaranya ketika usianya masih sekitar 15 tahun. Nyaring didengar, getarannya begitu lembut menentramkan. Dia benar-benar mengucapkannya dengan cinta. "Hala ketemu hampir tiap hari kok kangen toh sayang.." Jawabku dengan sok tidak percaya dan nada bercanda. Percakapan gombal kami terhenti untuk jarak yang cukup jauh, sekitar 300 meter. Saat itu kami melewati jalan yang sedikit rusak di daerah sawojajar. Ucapan mesranya berganti "Ati-ati mas..", dan aku selalu mengucapkan "Awas sayang angkat kakinya.." Itu selalu kuucapkan saat ada genangan air. Berharap kekasihku mengangkat kakinya dan air kotor tidak sampai menyentuhnya. Karena hanya air mataku yang pantas untuknya.

Sampai di jalan wisnuwardhana, hujan semakin lebat. Bahkan sungai di kanan jalan sepertinya meluap. Kami berteduh di depan sebuah rumah kecil. Sepertinya ini bekas bengkel sepeda motor, terlihat dari lantainya yang kusam terkena oli. Motor kuparkir menghadap utara. Tidak sempat merubah posisi karena hujannya deras. Aku membetulkan jaketnya yang masih belum tertutup rapi resletingnya, "Dia tidak boleh kedinginan.." Dalam hatiku. Di sisi lain aku iri terhadap jaket jingganya, andai saja aku yang jadi jaketnya, mungkin aku bisa jauh lebih membuatnya hangat. Ah sudahlah, bukankah cintaku telah cukup untuk membuatnya hangat.

"Mas, hujannya sudah lumayan reda. Kita pulang saja ya, ditunggu mama. Nanti pulangnya mas biar dipinjami baju adekku.." Aku tidak pernah bisa menolak keinginannya. Kalau pun bisa, setelah menatap kedua boa matanya, pasti aku tertunduk dan akhirnya menurut. Di sinilah peran cinta sebagai penakhluk kerasnya hati. Benar, sampai di rumah aku semakin basah kuyup. Akhirnya mandi dan dipinjami pakaian milik adeknya. Beristirahat di ruang tamunya sejenak. Setelah reda, aku pun pulang. Sekalipun harus basah-basahan tidak masalah asalkan bisa mengantarkannya. Kebahagiaannya adalah ketentraman hatiku.

Selasa, 10 Januari 2012

Semanis Es Cincau Semanis Wajahmu

Sesak kendaraan begitu memenuhi ruas-ruas jalan. Terik matahari sesekali membuat saya mengusap dahi. Seperti biasa, saya dengan rombongan setia saya satu geng. Berjalan paling depan dengan wajah menantang. Celana putih sedikit melorot sehingga ukurannya menjadi tiga per empat. Hem putih berlogokan 9H warna kuning pada bahu sebelah kanan. Di dalamnya kaos berwarna biru. Kancing saya buka dua yang paling atas. Rambut british dengan hiasan bulu mata yang panjang seperti daun kelapa.

Sambil bercanda dan ngobrol melewati Rel kereta api dekat SMP3 kemudian lupa melalui jalur mana sehingga tembus sampai Pasar Comboran. Tujuan kami adalah SMK4 dan SMA5. Waktu itu sudah selesai UN, kami sibuk mencari pandangan untuk kelanjutan sekolah. Sampai di depan gerbang SMK4, beberapa menit kemudian angin tiba-tiba berhembus mesra. Keringat di pelipis saya rasanya seperti embun kecil yang menetes dari pohon pakis. Kesejukan itu kembali datang dan saya tak mampu menahan senyum yang begitu merekah indah.

Dengan pita merah muda di kerudung putihnya ia datang. Tasnya menyamping, jaketnya tersampir di salah satu lengannya. Jaket jingga yang pernah saya pinjam sehari semalam untuk menemani tidur saya. "Aku pinjam jaketnya, sayang. Tapi jangan dicuci dulu ya." Begitulah kata-kata saya pada suatu ketika. Tapi saya meminjam jaket ini adalah jauh setelah kami sudah SMA. "Lho kenapa mas? Ndak mending dicuci dulu?" Jawabnya. "Ndak, aku ingin harum keringatmu benar-benar memberikan suasana keberadaanmu saat menemaniku terlelap." Bantah saya.

Dia datang juga dengan beberapa temannya. Hanya beberapa saat, akhirnya gadis cantik ini pun menemani saya berjalan. Alasannya pulang, tapi pulang kok muter-muter dulu lewat comboran, pasar besar, gajah mada, dan alun-alun. Hahaha. Dasar anak muda pintar cari alasan. Waktu itu jika tidak salah adalah hari Senin. Saya haus, sampai di dekat pertigaan comboran yang akan ke arah Pasar Besar, kami berhenti sejenak. Saya beli es Cincau. Warnanya hijau dengan kuah santan bercampur es. Dinginnya mampu meredam dahaga dalam tenggorokan saya. Namun gadis cantik ini lebih belum mampu meredam rindu saya karena 1 hari tidak bertemu, kan kemarin hari Minggu.

"Sayang es juga ya??" Saya menawari dengan nada saya buat sehalus dan seromantis mungkin. Jarang-jarang bahkan bisa dikatakan tidak pernah saya bicara dengan wanita saya atur sedemikian rupa. Kurang kerjaan sekali baik-baikin anak orang. Dari dulu saya tidak seberapa memikirkan wanita. "Koen iku gak seneng arek wedok ta? Diuber-uber arek SMP TD, SMP 3, SMP 20, SMK 3 tapi ngadoh" Kata makelar angkot di halte saking pegelnya. Karena orang itu selalu menjadi tempat titipan salam, makanan dan surat dari penggemar-penggemar saya lintas sekolah.

Kembali lagi ke cerita, "Ndak mas, aku puasa. Mas aja." Jawabnya lebih halus dengan senyum yang dihiasi sedikit dua gigi depannya yang besar dan lucu. Ya akhirnya karena sudah terlanjur memesan, saya minum saja. Dia duduk setia di samping kanan saya. Sesekali berbicara, entah apa yang kami bicarakan, saya tidak mampu mengingat sampai sedetail itu. Lidah bagian depan saya merasakan betapa manisnya gula es cincau ini. Sesekali saya aduk dengan sendok kecil untuk meratakan gula merahnya. Sambil mencuri pandang selama mungkin saat ia memandang ke arah jalan atau arah kanan. Begitu dia menoleh ke saya, saya pura-pura minum dengan serius. Ternyata paras wajahnya begitu mempesona melebihi manisnya es ini. Bahkan untuk sekedar kilau mata indahnya saat memandang mampu menembus dinginnya es yang sedang saya minum kemudian menggantikannya dengan kesejukan cinta. Jalanan yang begitu macet dan panas berubah menjadi taman-taman surga dengan sungai-sungai yang mengalir di sekitarnya.

Waktu sudah semakin siang, kami harus pulang. Dia sepertinya kelelahan. Sudah puasa, saya ajak jalan panas-panas, jauh pula. Dasar Adi ini, tidak berperi kegadisan. Hahaha. Salah sendiri mau. Ya yang namanya cinta, jangankan jalan jauh, jalan dekat saja dijalani. (Maksudnya???). Ah sudah, serius ini. Akhirnya saya tawari lagi untuk membatalkan puasanya, toh puasa sunnah. Ada undangan makan-makan saja dianjurkan untuk membatalkan (Hadist Shahih). Apa lagi ada tawaran makan dari kekasih. (Apa hubungannya to?) --Tanya Dinas Perhubungan--.

Akhirnya mau juga ni bidadari saya. Pesan nasi tahu telor dan es jeruk masing-masing 2. Makan berdua di bangku paling utara. Tempatnya panas, hanya tertutup kain spanduk beratapkan seng. Letaknya di pojokan parkiran dekat TB Siswa (Timur Alun-Alun). Seperti biasa makan saya sedikit, jadi tidak habis. Saya lupa waktu itu dihabiskan dia atau tidak, karena jika makanan kami tidak habis, salah satu pasti membantu menghabiskan. Romantis ya?? Romantis apanya, kekenyangan salah satu yang ada. Hehehe.


Ya begitulah cerita waktu itu, akhirnya kami berjalan menuju halte di sebelah jembatan penyeberangan yang menghubungkan Alun-Alun dengan trotoar Sarinah. Dia pulang terlebih dahulu naik MM (Mulyorejo Madyopuro). Yah saya ditinggal. Baru ditinggal di angkot sudah sms-sms kangen. Lagi-lagi mabuk cinta menyelimuti seluruh syaraf-syaraf kesadaran kami. Apa pun rasa saat itu, entah panas, gerah, lelah, tapi ada satu yang mengalahkan semua itu, manis wajahnya semakin menghias relung-relung hati saya. Assseeeek.. :D

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More